Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi), Tungkot Sipayung, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menyikapi masalah minyak goreng di Indonesia.
Tungkot menekankan bahwa antisipasi yang baik diperlukan untuk menghindari potensi berulangnya kelangkaan atau lonjakan harga minyak goreng di masa yang akan datang.
“Masalah minyak goreng ini rawan terjadi lagi. Jadi, pemerintah harus berhati-hati agar tidak salah langkah. Sebagai produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) terbesar, seharusnya masalah seperti ini dapat diantisipasi,” ujar Tungkot dalam keterangannya, Selasa (5/9).
Ia berpendapat bahwa semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, perlu belajar dari kasus sebelumnya dan berupaya memperbaiki situasi serta lebih fokus dalam menyiapkan regulasi dan tata kelola pasar minyak goreng yang baik.
Baca Juga: Pantau Pasar Flamboyan di Pontianak, Mendag Zulkifli Hasan: Stok Bapok Stabil
Tungkot menjelaskan bahwa Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi akan mendorong peningkatan konsumsi oleofood, terutama minyak goreng.
Berbagai studi menunjukkan bahwa pasar minyak nabati dunia akan mengalami kelebihan permintaan setidaknya hingga tahun 2050. Ini berarti kenaikan harga minyak sawit dunia, seperti yang terjadi pada tahun 2022, mungkin akan sering terjadi.
“Kemungkinan terjadi kelangkaan minyak goreng domestik diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang jika tidak ada perubahan kebijakan,” papar dia.
Harga minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit, meningkat secara signifikan. Data dari World Bank (2022) menunjukkan bahwa harga minyak kedelai naik dari US$ 748 per ton pada Januari 2019 menjadi US$ 1.957 per ton pada Maret 2022. Pada periode yang sama, harga minyak sawit meningkat dari US$ 537 per ton menjadi US$ 1.823 per ton.
“Peningkatan harga CPO dunia tersebut mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng di pasar domestik,” ungkap Tungkot.
Baca Juga: Tak Ada Kepastian Pembayaran Rafaksi Minyak Goreng, Ini Ancaman Peritel ke Pemerintah
Dia mengatakan bahwa kenaikan harga tersebut menciptakan dilema antara ekspor (untuk memperoleh devisa) dan pemenuhan kebutuhan domestik. Dilema tersebut, jika tidak dipecahkan, berpotensi menimbulkan masalah politik dan hukum, seperti yang terjadi tahun lalu.
Solusi untuk dilema tersebut adalah pembagian tanggung jawab. Korporasi swasta yang menghasilkan minyak goreng tidak seharusnya dibebani dengan tanggung jawab menjamin pasokan minyak goreng domestik. “Bebaskan ekspor untuk memperoleh devisa dari pasar dunia,” jelas Tungkot.
Untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah (sekitar 50% dari total konsumsi domestik), seharusnya menjadi tanggung jawab BUMN seperti PTPN, ID Food, dan Bulog.
Kapasitas pabrik minyak goreng PTPN saat ini telah mencapai 1,6 juta ton kiloliter (kl) dan berpotensi terus bertambah. Jika dianggap perlu menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng domestik, maka pemerintah dapat menugaskan BUMN untuk memenuhinya, di mana selisih harga ekspor dengan HET yang ditetapkan ditutup dari dana sawit.
Baca Juga: Kembali Tinjau Bazar Ramadan 2023, Mendag Zulkifli: Bantu Masyarakat Hadapi Lebaran
Dengan cara ini, korporasi minyak goreng swasta dapat dengan bebas mengekspor ke pasar dunia tanpa adanya kewajiban domestic market obligation (DMO). Sementara itu, BUMN dapat memastikan ketersediaan minyak goreng domestik. Hal ini sebaiknya diatur dalam peraturan presiden. Selama periode 1971-1990, Indonesia berhasil mengadopsi kebijakan serupa.
“Dengan cara tersebut, dilema antara ekspor minyak goreng versus kebutuhan domestik yang terjadi selama ini dapat diatasi dan tidak terulang kembali,” kata Tungkot.
Tungkot juga menyoroti kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang inkonsisten dan menciptakan ketidakpastian. Kebijakan tersebut seharusnya didasarkan pada pemahaman mendalam tentang industri minyak goreng nasional.
Seharusnya, jika pemerintah ingin memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga yang lebih terjangkau, pungutan ekspor dapat ditingkatkan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha agar lebih cenderung menjual minyak goreng di dalam negeri daripada mengekspornya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News