kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.351.000   3.000   0,13%
  • USD/IDR 16.745   19,00   0,11%
  • IDX 8.415   44,66   0,53%
  • KOMPAS100 1.166   6,43   0,55%
  • LQ45 848   4,13   0,49%
  • ISSI 294   1,29   0,44%
  • IDX30 445   1,77   0,40%
  • IDXHIDIV20 511   2,16   0,42%
  • IDX80 131   0,77   0,59%
  • IDXV30 137   0,30   0,22%
  • IDXQ30 141   0,81   0,58%

Kemenperin & Inalum Ungkap Prospek Industri Aluminium: Ada Wacana HGBT Hingga DMO


Senin, 17 November 2025 / 07:36 WIB
Kemenperin & Inalum Ungkap Prospek Industri Aluminium: Ada Wacana HGBT Hingga DMO
ILUSTRASI. Ekspor alumina Indonesia tercatat sebesar 3,66 juta ton dengan dengan impor sebanyak 816.103 ton alumina di periode Januari-Agustus 2025


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program hilirisasi dan sejumlah proyek ekspansi bakal mendongkrak kapasitas produksi industri aluminium nasional. Namun, masih ada sejumlah catatan agar penguatan industri aluminium bisa berjalan lebih optimal.

Ketua Tim Kerja Industri Logam Bukan Besi Direktorat Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Yosef Danianta Kurniawan mengungkapkan neraca ekspor-impor produk berbasis alumina mencerminkan arah positif dari kebijakan hilirisasi mineral. Kapasitas produksi domestik mulai mampu mengurangi ketergantungan impor sambil memperkuat posisi ekspor alumina di pasar global.

Dalam neraca ekspor-impor pada periode Januari - Agustus 2025, ekspor alumina tercatat sebesar 3,66 juta ton. Sementara ekspor aluminium hydroxide sebanyak 124.032 ton dan aluminium ingot sebesar 366.945 ton.

Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Raih Peringkat ESG Terbaik Sepanjang Sejarah Perusahaan

Pada periode yang sama, Indonesia masih impor sebanyak 816.103 ton alumina. Indonesia juga masih melakukan impor untuk produk aluminium hydroxide dan aluminium ingot masing-masing sebanyak 59.039 ton dan 59.679 ton. 

Yosef menjelaskan, penurunan impor alumina mengindikasikan peningkatan kapasitas pengolahan lokal. Antara lain karena mulai meningkatnya kapasitas produksi domestik dari proyek-proyek smelter dan pabrik alumina seperti PT Bintan Alumina Indonesia dan PT Borneo Alumindo Prima.

Namun, Yosef memberikan catatan bahwa ekspor aluminium hidroksida dan aluminium ingot yang masih kecil dibanding alumina, menunjukkan Indonesia masih dominan mengekspor bahan antara. Dus, tantangan ke depan adalah memacu hilirisasi alumina menjadi aluminium ingot serta produk turunan lainnya.

"Harapannya di tahun-tahun ke depan impor semakin menurun dengan dukungan beroperasinya fasilitas refinery, sehingga produk alumina yang dihasilkan bisa menjadi sumber bahan baku di smelter," ungkap Yosef dalam diskusi Outlook Industri Aluminium, Jumat (14/11/2025).

Berdasarkan data hingga semester I-2025, output alumina refinery mencapai 2,01 juta ton alumina. Sedangkan smelter aluminium menghasilkan output sebanyak 352.418 ton aluminium. Tingkat utilisasi untuk alumina refinery adalah 63,91%, sementara utilisasi smelter aluminium mencapai 90,95%.

Total kapasitas input smelter aluminium memerlukan 1,55 juta ton alumina per tahun. Sementara total kapasitas output bisa menghasilkan 775.000 ton aluminium per tahun. Kapasitas produksi aluminium premier bakal menembus level 1 juta ton pada tahun depan.

Kapasitas produksi aluminium diperkirakan akan mencapai 1,02 juta ton pada 2026 dan 1,27 juta ton pada 2027. Estimasi ini didorong oleh ekspansi yang dilakukan oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, optimalisasi output ingot PT Hua Chin, serta beroperasinya PT Kalimantan Aluminium Industry pada tahun 2026 yang akan beroperasi penuh pada 2027.

Kondisi ini akan memperkuat pasokan bahan baku untuk industri hilir seperti kabel listrik, aluminium plate/sheet/foil, industri pengecoran logam, hingga industri ekstrusi, yang membutuhkan bahan sekitar 1 juta ton aluminium per tahun. Peningkatan nilai tambah di dalam negeri ini diharapkan bisa memacu ekspor produk jadi dari Indonesia.

"Harapannya hilirisasi ini tidak hanya berhenti sampai ke smelter aluminium, tetapi produk yang dihasilkannya dapat dimanfaatkan oleh industri yang lebih hilir. Sehingga nantinya ekspor tidak lagi dalam bentuk alumina maupun ingot, tetapi sudah ekspor dalam bentuk produk jadi," ungkap Yosef.

Baca Juga: Menthobi Karyatama (MKTR) Optimistis Pendapatan Capai Rp 1,2 Triliun di Akhir 2025

Supaya penguatan industri aluminium nasional lebih optimum, Kemenperin menyadari perlunya dukungan kebijakan dari pemerintan. Dalam hal ini, Yosef menyoroti upaya untuk menekan biaya energi yang menjadi salah satu komponen biaya terbesar dalam proses produksi aluminium.

Kemenperin mengusulkan agar industri aluminium dapat menjadi penerima manfaat kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Insentif HGBT memungkinkan produsen aluminium mendapatkan harga gas yang lebih murah dibandingkan harga gas bumi komersial yang berkisar US$ 12 - US$ 14 per MMBTU. 

Jika merujuk pada kebijakan saat ini, sektor industri yang menerima HGBT bisa menikmati harga gas sebesar US$ 6 - US$ 7 per MMBTU.

“Selisih harga di atas, tentu akan berdampak positif bagi kinerja industri aluminium, sehingga bisa menurunkan biaya produksi yang signifikan. Diharapkan akan memberikan multiplier effect untuk industri yang lebih hilir, sehingga produk akhir bisa semakin kompetitif,” ungkap Yosef.

Di sisi lain, untuk menjaga ketersediaan bahan baku, Kemenperin tengah mempertimbangkan untuk merumuskan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) khusus untuk alumina. Usulan kebijakan DMO Smelter Grade Alumina (SGA) ini bertujuan agar alumina produksi dalam negeri tidak difokuskan untuk ekspor, tetapi bisa diprioritaskan memenuhi bahan baku input smelter aluminium yang ada di Indonesia.

"Kebijakan DMO untuk SGA menjadi salah satu opsi ke depan. Ketika smelter aluminium bertambah secara kapasitas, tentu kebutuhan SGA akan meningkat. Saat ini SGA masih didominasi ekspor karena pasar luar masih cukup menjanjikan. Perlu diantisipasi, DMO salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan," terang Yosef.

Inalum pun menyambut usulan kebijakan tersebut.  Direktur Pengembangan Usaha Inalum, Arif Haendra mengungkapkan bahwa harga aluminium mengikuti dinamika pasar dengan mengacu pada London Metal Exchange (LME). Secara operasional, pemberian insentif harga gas akan menurunkan biaya pokok produksi, sehingga pelaku industri bisa mendapatkan margin yang lebih baik.

Insentif ini bisa menarik lebih banyak investasi untuk memperkuat industri aluminium. "Kalau margin lebih baik, akan menarik untuk berinvestasi lebih banyak," kata Arif.

Baca Juga: Daya Serap EBT Baru 0,2%, Industri Dorong Percepatan Proyek dan Jaringan Super Grid

Sedangkan terkait usulan DMO, Arif mengatakan bahwa menjaga ketersediaan bahan baku menjadi tantangan tersendiri. Pada umumnya, pabrik alumina sudah menjalin kontrak jangka panjang, termasuk dengan smelter yang ada di luar negeri. 

"Rata-rata pabrik alumina terikat dengan smelter. Tidak mudah mencari alumina, semua berusaha memitigasi risiko dengan long term kontrak," ungkap Arif.

Catatan Arif, usulan kebijakan DMO perlu dibarengi dengan penguatan pasar untuk meningkatkan permintaan produk aluminium di dalam negeri. Secara statistik, Arif menggambarkan bahwa tingkat pemanfaatan aluminium di Indonesia masih sekitar 1,5 kg per kapita per tahun. 

Jauh lebih rendah dibandingkan negara maju seperti Eropa dan China yang sudah mencapai 20 kg per kapita per tahun. Arif bilang, salah satu cara untuk meningkatkan permintaan adalah dengan menjadikan aluminium sebagai produk substitusi, seperti untuk barang dari kayu dan plastik.

"Terkait DMO bagus, namun yang perlu kita bangun adalah menaikkan demand-nya, misalnya berpindah dari penggunaan plastik dan kayu ke aluminium. Selama masih banyak kayu tidak berizin, harganya akan murah, orang akan tetap pakai. Tapi kalau kayu ilegal diberantas, saya yakin aluminium akan meningkat," terang Arif.

Inalum memproyeksikan konsumsi aluminium Indonesia berpotensi meningkat sekitar 600% dalam 30 tahun ke depan. Pengembangan industri kendaraan listrik serta energi baru dan terbarukan akan turut mendongkrak kebutuhan terhadap aluminium.

Selanjutnya: MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit

Menarik Dibaca: Teknologi Percetakan Kini Ramah UMKM, Begini Cara Memulai Usahanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×