Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efek berganda atau multiplier effect mulai terlihat pada ekonomi nasional usai bergulirnya program hilirisasi sumber daya alam, terutama hilirisasi logam nikel.
Juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif mengatakan berdasarkan data Kemenperin, terdapat 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam konstruksi.
Dengan investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar USD 11 miliar atau sekitar Rp 165 Triliun untuk smelter Pirometalurgi, serta sebesar USD 2,8 Miliar atau mendekati Rp 40 Triliun untuk tiga smelter Hidrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Baca Juga: Kemenkeu Bantah Program Hirilisasi Nikel Hanya Untungkan China Saja
“Selama masa konstruksi, kehadiran smelter menyerap produk lokal. Saat ini, smelter tersebut mempekerjakan sekitar 120 ribu orang tenaga kerja. Dilihat dari lokasi, smelter tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten,” kata Febri melalui keterangan tertulis yang dikutip Kontan, Minggu (13/08).
Hal ini jelas dia, mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di daerah lokasi Smelter berada.
Selain penyerapan produk lokal dan tenaga kerja, efek lainnya smelter nikel ini dapat dilihat dari nilai tambahnya.
Kemenperin menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah.
“Apabila nilai nikel ore mentah dihargai USD 30/ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai USD 90/ton. Sedangkan bila menjadi Feronikel, akan naik 6,76 kali atau setara USD 203/ton,” ungkapnya.
Ketika hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan Nikel Matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau USD3.117/ton. Terlebih, sekarang Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (USD3.628/ton).
“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” papar Febri.
Baca Juga: Pemerintah Klaim Hilirisasi Nikel Serap Ribuan Tenaga Kerja
Berdasarkan data, jika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah, angkanya stagnan di Rp17 Triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang bisa mencapai Rp 510 Triliun.
Melihat performa kontribusi logam dasar ke ekonomi, Febri menjelaskan, PDB logam dasar di triwulan I-2023 tumbuh 11,39 persen. Pada semester I-2023 ini, logam dasar mencatatkan PDB sebesar Rp66,8 triliun.
Selama periode tahun 2022, sub-sektor ini tumbuh di atas 15 persen dengan nilai Rp124, 29 Triliun, juga tahun 2021 tumbuh double digit setara Rp108,27 Triliun. Bahkan di tahun 2020 yang penuh tekanan akibat pandemi Covid-19, industri logam dasar berhasil tumbuh mengesankan.
“Indikator ini sangat jelas menunjukkan bahwa benefit smelter memberi manfaat bagi ekonomi nasional, bukan untuk negara lain. Hadirnya PMA juga merupakan pengungkit investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Febri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News