Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal menggelar diskusi dengan pelaku usaha nikel pekan ini, membahas rencana pemerintah menaikkan tarif royalti mineral.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan pihaknya terbuka untuk mendengar masukan dari pelaku usaha sebelum beleid tersebut disahkan.
“Minggu ini kita mau diskusi sama teman-teman pengusaha nikel. Bagaimana caranya supaya margin mereka tetap bagus, tapi royalti bisa naik,” kata ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (14/4).
Tri bilang, diskusi tersebut direncanakan berlangsung pada Kamis (17/4) dan difokuskan pada sektor nikel.
Ia juga menyatakan masukan dari pengusaha akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Baca Juga: Harga Komoditas Melemah Imbas Tarif Trump & Resesi, Sektor Nikel Hadapi Jalan Terjal
Kendati demikian, Tri belum memastikan apakah diskusi ini akan mempengaruhi waktu pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tarif royalti tersebut.
Sebelumnya, kalangan pengusaha nikel menyampaikan penolakan terhadap rencana kenaikan tarif royalti. Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyebutkan bahwa kenaikan royalti berpotensi menambah beban biaya produksi yang sudah tinggi.
“Kalau bicara penggalian memang murah, tapi kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan sangat banyak, terutama pada 2025,” kata Meidy kepada Kontan, Selasa (25/3).
Menurut APNI, selain royalti, perusahaan tambang juga menghadapi kenaikan biaya lain seperti tarif bahan bakar biodiesel dari B30 ke B40, kenaikan UMR sebesar 6,5%, serta kenaikan PPN menjadi 12%.
Di sisi lain, eksportir nikel juga diwajibkan menempatkan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri selama satu tahun, serta dikenakan pajak minimum global sebesar 15%.
APNI memperkirakan jika tarif royalti naik dari 10% menjadi 14%-19%, maka margin perusahaan bisa semakin tergerus, terlebih saat harga nikel global tengah melemah.
“Kalau biaya produksi terlalu tinggi, sementara harga turun, perusahaan bisa tidak punya margin. Ujung-ujungnya mereka akan kurangi produksi, dan ini bisa berdampak pada penerimaan negara,” jelas Meidy.
APNI juga mencatat perusahaan tambang harus menanggung sederet kewajiban tambahan, mulai dari iuran tetap tahunan, PBB, jaminan reklamasi dan penutupan tambang, hingga sponsor kegiatan daerah dan nasional.
Baca Juga: FINI Menolak Wacana Kenaikan Royalti di Tengah Penurunan Harga Komoditas
Selanjutnya: Kondisi Global Tak Stabil, Perbankan Pikir-Pikir Terbitkan Obligasi
Menarik Dibaca: Rawat Mata Tetap Sehat, JEC Hadirkan One-Stop Service untuk Kesehatan Mata Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News