Reporter: Sri Sayekti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam Sarasehan Ekonomi 2025 yang diselenggarakan pada 8 April lalu, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya kemandirian ekonomi nasional di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian. Lebih lanjut, Presiden menjelaskan bahwa strategi pembangunan nasional yang tengah dijalankan oleh pemerintahannya bertumpu pada swasembada pangan, energi, air, dan industrialisasi.
Namun, Menteri ESDM pada keterangan pers 9 April lalu menyatakan bahwa kenaikan tarif royalti akan diberlakukan mulai April 2025 — sebuah kebijakan yang dinilai tidak tepat waktu mengingat harga nikel tengah anjlok tajam akibat tekanan geopolitik dan perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Di saat yang sama, industri nikel juga dibebani kenaikan biaya produksi dari kebijakan domestik seperti kenaikan UMR, penggunaan B40, retensi DHE, dan penerapan Global Minimum Tax mulai tahun 2025.
Baca Juga: Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Menolak Wacana Kenaikan Royalti, Ini Alasannya
Sejalan dengan arahan Presiden Prabowo mengenai pentingnya industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional, Alexander Barus, Ketua Umum FINI, menilai bahwa rencana kenaikan tarif royalti atas komoditas nikel perlu ditinjau kembali secara hati-hati.
“Penyesuaian kebijakan fiskal, seperti kenaikan royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang sedang mengalami penurunan harga agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlangsungan hilirisasi nikel nasional,” ujar Alexander Barus.
Harga nikel global saat ini telah mengalami penurunan drastis sebesar 16% dalam satu bulan terakhir, dan 23% dalam enam bulan terakhir, menyentuh level US$13.800/ton — titik terendah sejak 2020.
Baca Juga: Tarif Royalti Nikel Indonesia Termasuk Paling Tinggi di Dunia, Ini Perbandingannya
Penurunan ini terjadi di tengah melambatnya ekonomi global dan ketegangan geopolitik, termasuk perang tarif antara Amerika Serikat dan China, yang secara langsung berdampak pada permintaan nikel dunia.
FINI percaya bahwa penyesuaian kebijakan fiskal, seperti royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar saat ini agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlangsungan hilirisasi nikel nasional.
"Kami berkomitmen mendukung visi Presiden Prabowo dalam memperkuat industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional, dan mengajak pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri strategis Indonesia," tutup Alexander Barus.
Baca Juga: Produksi Nikel RI Diproyeksikan Tembus 3,74 Juta Ton pada 2030
Selanjutnya: MahakaX Raih Laba Pertama dalam 5 Tahun Terakhir dan Catatkan Pertumbuhan Positif
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Produk Spesial Mingguan hingga 15 April 2025, Sampo Diskon Rp 19.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News