Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi mempercepat larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore dan mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang. Percepatan larangan ekspor ini menuai kritik dari beberapa pihak.
Salah satunya Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Sekretaris Jenderal (Sekjen) APNI Meidy Katrin menjelaskan pelarangan ekspor akan berdampak pada perusahaan yang tengah membangun smelter. Sebab, perusahaan yang sedang membangun smelter memperoleh dana dari ekspor nikel kadar rendah tersebut.
Baca Juga: Mulai 1 Januari 2020, pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel
Mengenai hal ini, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menyampaikan sumber dana pembangunan smelter tidak dapat mengandalkan keuntungan dari hasil ekspor nikel saja.
"Saya dari awal 2017 mengatakan pembangunan smelter tidak bisa dibiayai dari hasil ekspor ya kan, karena apalagi kalau teknologinya electric furnace," ujarnya, Senin (2/9).
Bambang menambahkan biaya termurah dalam membangun smelter menggunakan blast furnace.
Lebih lanjut ia menyebut bahwa insentif tersebut hanya untuk membantu perusahaan, bukan sebagai sumber utama dalam membangun smelter.
Baca Juga: Harga nikel naik, analis sebut saham Central Omega Resources (DKFT) menarik
"Ya jadi memang kalau mengandalkan ekspor enggak mungkinlah akan terbangun, tetapi itu kan sebagai insentif untuk membantu perusahaan itu kan. Sehingga dari awal niatnya perusahaan itu ya niatnya membangun, tanpa ataupun dengan adanya insentif tadi," paparnya.
Sehingga, kata Bambang, apabila pendanaan pembangunan smelter hanya diperoleh dari hasil ekspor tak akan cukup untuk memenuhi sumber dana. "Itu untuk yang lainnya juga seperti bauksit, untuk tembaga," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News