Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) masih melakukan kajian terhadap potensi penerapan Domestic Market Obligation (DMO) kelapa sawit. Kajian ini juga dibarengi dengan upaya pengembangan Green Diesel D100 yang terus digencarkan pemerintah.
Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung mengatakan, kebutuhan akan kelapa sawit sebagai bahan baku green diesel akan terus meningkat di masa mendatang.
Ditambah lagi, pemerintah juga telah menjalankan mandatori biodiesel 30% atau B30 yang akan berkembang menjadi B40 maupun B50 dalam waktu dekat sehingga butuh lebih banyak kelapa sawit untuk dimanfaatkan. “Maka diperlukan kebijakan DMO kelapa sawit untuk memenuhi konsumsi dalam negeri,” ujar dia dalam webinar, Selasa (27/10).
Baca Juga: Bukit Asam (PTBA) yakin proyek gasifikasi batubara akan menghemat devisa negara
Pemerintah pun masih terus melakukan kajian terhadap peluang penerapan DMO tersebut. Ini mengingat kebijakan DMO kelapa sawit harus diperhitungkan dengan tepat karena dampaknya akan mengurangi devisa negara dari ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Effendi juga menekankan pentingnya proyeksi kebutuhan CPO untuk ketahanan energi. Dalam hal ini, pemerintah berkeinginan agar upaya-upaya pemenuhan kewajiban DMO kelapa sawit harus tetap meminimalisasi potensi pembukaan lahan baru yang tentu akan mempengaruhi lingkungan hidup.
Pemerintah juga masih membutuhkan analisis rantai pasok untuk menjaga kestabilan harga CPO sebelum kebijakan DMO kelapa sawit diberlakukan. “Diperlukan perhitungan agar tidak ada pihak yang dirugikan melalui penerapan DMO,” imbuh Effendi.
Untuk itu, harus ada penetapan range harga DMO kelapa sawit batas bawah dan batas atas yang dapat diterima oleh semua pihak, baik itu produsen green diesel, produsen kelapa sawit, bahkan hingga ke level petani kelapa sawit. Effendi tidak menjelaskan secara pasti kapan kebijakan DMO kelapa sawit ini akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Baca Juga: Dikabarkan bakal tambah saham di Weda Bay, begini tanggapan ANTM
Di saat bersamaan, pihak Kementerian ESDM sendiri saat ini juga masih gencar melakukan kajian terhadap pengembangan Green Diesel atau D100 di Indonesia. Salah satunya melalui pengembangan infrastruktur pengolahan green diesel atau proyek Green Refinery yang dijalankan PT Pertamina (Persero) dan pembangunan Katalis Merah Putih. “Kami juga sedang mengkaji pengembangan mandatori biodiesel beyond B30 dengan memanfaatakan D100,” tukas Effendi.
Kementerian ESDM pun telah melaksanakan uji jalan B30D10 melalui badan litbang dengan jarak 10.000 kilometer yang ditargetkan selesai pada Desember 2020. Uji jalan ini turut melibatkan stakeholder terkait di bidang otomotif atau kendaraan bermotor.
Effendi mengaku, bahwa penerapan D100 secara komprehensif tidak mudah dilakukan dalam waktu dekat. Selain belum ada dukungan regulasi terkait rencana implementasi Green Diesel, nilai investasi untuk membangun infrastruktur seperti Green Refinery pun tergolong tinggi.
Insentif di sektor Green Diesel juga masih terbatas. Sejauh ini, insentif yang ada masih sangat bergantung pada ekspor produk CPO dan turunannya. Di samping itu, dibutuhkan pula penyesuaian dan peningkatan fasilitas produksi dan penyaluran Green Diesel. “Keterlibatan swasta untuk membangun Green Refinery dengan kapasitas besar perlu didorong,” tandas dia.
Selanjutnya: Dharma Satya Nusantara (DSNG) kasih pinjaman ke anak usaha Rp 117,34 miliar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News