Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Anda berencana mengurus izin usaha perkebunan? Bersiaplah menghadapi kerepotan. Jika saat ini izin usaha perkebunan (IUP) bisa langsung diperoleh dari kepala daerah, kelak Anda harus mengurusnya sampai ke pemerintah pusat.
Inilah salah satu poin penting dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2007 tentang Pedoman IUP yang kini masuk dalam tahap finalisasi dan siap terbit bulan Desember tahun 2012 ini.
Meski pemerintah tak mencabut kewenangan daerah dalam penerbitan IUP, draf revisi aturan itu menyebutkan: izin usaha perkebunan yang akan keluar harus lebih dulu mendapatkan rekomendasi Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan). Bila rekomendasi belum keluar, daerah belum bisa menerbitkan IUP.
Poin kedua yang juga penting adalah pembatasan luas lahan perkebunan yakni maksimal 100.000 hektare bagi setiap grup perusahaan. Ketiga, perusahaan kebun wajib membuat kebun plasma maksimal dua tahun (lihat tabel).
Mukti Sardjono, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kemtan menyatakan, tujuan revisi aturan izin usaha perkebunan adalah untuk mengantisipasi tumpang-tindih perizinan lahan. Banyak pemerintah daerah sembrono mengumbar izin perkebunan.
Ini pula yang memicu konflik berkepanjangan. "Izin usaha perkebunan sesuai Permentan Nomor 26/2007 masih banyak bolongnya," ujar dia kepada KONTAN, kemarin. (18/10). Banyak IUP yang dikeluarkan bupati tak memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan.
Benar, IUP bermasalah bisa dicabut. Namun, praktiknya ini susah dilakukan. Kepala daerah ogah mencabut IUP yang ia terbitkan sendiri. Perusahaan tak berani melapor karena khawatir akan dipersulit mengurus IUP baru.
Makanya, pembenahan dalam penerbitan IUP perlu dilakukan agar izin menjadi lebih tertib. Prosedur pengurusan IUP akan ditambah dengan kewajiban mendapatkan rekomendasi dari Kemtan. "Dengan beleid ini, pengawasan dalam penetapan IUP menjadi berlapis," tandas Mukti.
Agar tak merepotkan, kata Mukti kebijakan baru ini tidak berlaku surut. Rekomendasi dari Ditjen Perkebunan hanya untuk pengurusan IUP baru. IUP yang keluar sebelum Permentan baru berlaku, tetap berlaku alias sah.
Mukti menjamin, kebijakan itu tidak menabrak beleid otonomi daerah lantaran izin penerbitan IUP tetap di tangan kepala daerah.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengingatkan, syarat pengesahan IUP oleh Ditjen Perkebunan berpotensi mendapat penolakan daerah karena bertolak belakang dengan UU Otonomi Daerah. "Sebaiknya tidak masuk dalam Permentan baru," kata dia.
Khudori, pengamat perkebunan menambahkan, pengusaha kebun wajar kekhawatiran dengan beleid baru ini. lantaran mata rantai perizinan akan semakin panjang. Untuk it, Kemtan harus menjamin proses pengesahan IUP bisa berlangsung cepat. Jika tidak, pengusaha perkebunan yang menjadi korban. Itu sebabnya, pemerintah harus memberi batas waktu maksimal pengesahan IUP, agar memberikan kepastian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News