kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kenaikan cukai rokok dianggap bisa jadi buah simalakama bagi petani


Kamis, 31 Desember 2020 / 20:50 WIB
Kenaikan cukai rokok dianggap bisa jadi buah simalakama bagi petani


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah memastikan menaikkan cukai rokok 12,5% yang berlaku per 1 Februari 2021. Keputusan yang diambil di tengah pandemi ini lantas mengundang pro kontra dari masyarakat.

Menanggapi ini, Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menilai kebijakan ini kurang berpihak pada petani tembakau.

“Kalau bagi kami, ini adalah solusi bagi negara untuk mendapatkan pundi-pundi pemasukan di dalam masa pandemi dengan target bahwa isu yang dibahas tentang prevalensi. Tetapi arah intinya juga terhadap pemasukan,” kata dia dalam keterangan resminya yang diterima Kontan.co.id, Kamis (31/12).

Baca Juga: Menkeu: Institusi pendidikan dan SDM penting untuk pengembangan ekonomi syariah

Menurutnya kebijakan tersebut merupakan simalakama bagi petani. Pasalnya, dalam kondisi normal, petani tembakau sudah cukup terpuruk dengan kenaikan cukai awal tahun 2020 lalu. Berkaca pada kenaikan cukai sebelumnya yang diumumkan Menkeu Sri Mulyani pada 14 September 2019, Agus membeberkan terjadi penurunan dan merosotnya penyerapan tembakau di tingkat petani. 

“Dan dampak itu terjadi, kembali kita rasakan pada tahun 2020. Di samping pandemi yang penuh dengan protokoler kesehatan, kemudian dihantam cukai yang begitu tinggi. Sehingga hasil dari kami mengalami kerugian dikarenakan harga yang kurang kompetitif,” sambung dia.

Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, menambahkan bahwa memang industri pengolahan tembakau mengalami penurunan utilisasi selama pandemi covid-19 berlangsung. 

Sampai dengan November 2020, utilisasi industri pengolahan tembakau tercatat tumbuh 57,5%, lebih rendah dibandingkan sebelum covid yang sebesar 66%. “Kondisi pandemi berpengaruh pada IHT, berdampak pada the weakest link industri yaitu pekerja buruh rokok, petani tembakau, dan pedagang retail,” papar dia.

Sementara, laju pertumbuhan ekspor tembakau olahan secara tahunan pada kuartal III-2020 juga mencatatkan penurunan mencapai minus 26,3%. Begitu juga dengan impor yang minus 7,5%. 

Baca Juga: Indef: Kenaikan tarif cukai rokok tak cukup untuk kejar target pemerintah

Kendati demikian, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyampaikan kebijakan terkait dengan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 12,5% telah mempertimbangkan kondisi pandemi Covid-19.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF, Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau pada 2021 lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan cukai pada 2020 lalu, yang sebesar 23%. "Jadi ada upaya turut mempertimbangkan mengambil concern pandemi selama ini, jadi juga bisa tetap mendukung ekonomi tumbuh ke depannya," katanya.

Dia memaparkan ada beberapa bauran kebijakan yang mempengaruhi kenaikan cukai hasil tembakau. Selain mempertimbangkan sisi konsumsi, peningkatan cukai hasil tembakau telah memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja dan kesejahterannya, terutama tenaga kerja dan petani tembakau.

Selanjutnya: Bantu IKM berkembang, Bea Cukai gencarkan asistensi fasilitas kemudahan impor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×