kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kenaikan UMP berdampak besar bagi industri padat karya


Selasa, 30 Oktober 2018 / 21:05 WIB
Kenaikan UMP berdampak besar bagi industri padat karya
ILUSTRASI. INDUSTRI TEKSTIL


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Tenaga Kerja menetapkan UMP 2019 naik 8,03%. Kenaikan UMP ini berdampak bagi industri padat karya seperti di Jawa Barat. 

Besaran kenaikan UMP sebesar 8,03% tersebut dibuat dengan mempertimbangkan dua faktor. Pertama, inflasi nasional yang sebesar 2,88%. Kedua, pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,15%.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjelaskan kenaikan upah tersebut berdampak bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di area Jawa Barat. Khususnya di Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta dan Depok.

"Hal ini karena Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) daerah tersebut sudah tinggi. Sehingga hasil produksi pabrik di daerah sana sudah tidak berdaya saing dengan daerah lain seperti Jawa Tengah," kata Ade kepada KONTAN, Selasa (30/10).

Ade mencontohkan saat ini industri TPT di Karawang tinggal delapan pabrikan. Jauh turun dibanding beberapa tahun belakangan yang mencapai 22 pabrikan. Beberapa pengusaha memilih untuk merelokasi pabriknya ke daerah Jawa Tengah yang memiliki UMP dan UMK yang lebih rendah. Sehingga marjin yang diperoleh lebih baik.

"Ini karena banyak pemimpin di daerah yang menjanjikan kenaikan UMK. Sekalinya naik jadi masalah bagi industri," katanya.

Saat ini pemerintah menetapakan kenaikan UMP berdasarkan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015. Namun Ade berharap ada Perpres yang mengatur soal UMK industri padat karya. Menururtnya perlu ada standar upah khusus bagi industri yang banyak menyerap tenaga kerja.

"Karena kalau tanpa itu menimbulkan ketimpangan di tiap daerah. Bagaimana industri nasional bisa maju bila di antar provinsi saja tidak berdaya saing," katanya.

Tahun depan Ade memprediksi peluang pertumbuhan industri TPT bisa asalkan disokong oleh pemerintah. Seperti bantuan insentif pengusaha untuk mengikuti pameran internasional, meneken perjanjian kerjasama dengan negara Uni Eropa dan Australia.

Catatan saja pada tahun 2018, Kemenperin mematok ekspor industri TPT sebesar US$ 13,5 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2,95 juta orang. Tahun 2019, ekspornya diharapkan bisa mencapai US$ 15 miliar dan menyerap sebanyak 3,11 juta tenaga kerja.

Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengatakan pihaknya sejatinya setuju dengan kenaikan UMP tersebut. Hanya saja dari sisi

pemerintah daerah diperlukan konsistensi untuk mengikuti acuan kenaikan upah berdasarkan PP 78/2015 tersebut. "Jangan sampai mendekati Pemilu jadi isu politik. Kami tidak mau ada penafsiran berbeda antara pemerintah pusat dan daerah soal UMP ini," kata Firman kepada KONTAN, Selasa (30/10).

Firman menambahkan pemerintah perlu mencermati dan memperhatikan perkembangan industri alas kaki. Sebab, saat ini konsentrasi investasi hanya di Jawa Tengah. Sehingga daerah lain seperti Banten yang sebelumnya menjadi pusat industri alas kaki menjadi terbengkalai. "UMP di Jateng memang lebih kompetitif dibandingkan daerah lain. Tapi tenaga kerja di daerah lain juga perlu diperhatikan," tambah dia.

Firman menilai ekspor pada tahun ini bisa meningkat 5% menjadi US$ 5,1 miliar. Dengan jumlah tenaga kerja saat ini sekitar 800 ribu orang, Firman percaya tahun depan ekspor bisa meningkat lagi. Menurutnya pemerintah perlu memperkuat perjanjian kerjasama bilateral dengan negara lain.

Khususnya menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dan negara di Eropa yang merupakan basis utama negara ekspor. Apalagi banyak negara pesaing yang sudah melakukan perjanjian free trade agreeement (FTA)

Pendapat berbeda disampaikan dari industri farmasi. Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi, Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto menjelaskan dampak dari kenaikan upah sejatinya minim bagi industri farmasi.

Menurutnya masalah utama sekarang yang dihadapi yakni meningkatnya harga bahan baku pokok serta lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS.

"Kami sulit untuk bisa menaikan harga jual di LKPP karena dalam kontrak program JKN tersebut tidak ada klausul harga jual produk obat. Baik kenaikan maupun penurunan harga bila ada situasi berubahanya harga bahan baku dari luar negeri dan juga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS)," kata Vincent, Selasa kepada KONTAN (30/10).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×