kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,12   2,37   0.26%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kesiapan industri jadi modal Indonesia ikut TPP


Rabu, 01 Juni 2016 / 17:19 WIB
Kesiapan industri jadi modal Indonesia ikut TPP


Reporter: Issa Almawadi | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Keiikutsertaan Indonesia dalam Trans Pacific Partnership (TPP) memang belum pasti. Namun gaung perdagangan bebas antar negara-negara di wilayah pasifik ini terus mendapat pro dan kontra. Sebagian besar pembahasan mengenai hal ini terkait untung dan rugi.

Poin penting dalam perdebatan TPP adalah investasi dan daya saing. Saat Indonesia sedang getol-getolnya menarik investasi asing di berbagai sektor, beberapa industri justru punya daya saing rendah jika akhirnya jadi peserta TPP.

Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan berpendapat, TPP jangan dijadikan sebagai ancaman dan harus dianggap sebagai peluang.

"Tapi jangan hanya menyiapkan industrinya saja, melainkan juga harus menyiapkan aturan," ujar Putu dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "TPP, Peluang atau Ancaman?", Rabu (1/6).

Putu menambahkan, TPP bisa jadi peluang untuk menyebarkan industri agar tidak terkonsentrasi di pulau Jawa. Selain itu, TPP juga memebrikan dampak positif bagi industri karena akses pasar semakin luas.

Salah satu sektor yang menjadi sorotan dalam TPP adalah otomotif. Bagi Yanuarto W.H, Sekjen Institut Otomotif Indonesia (IOI), TPP memang bisa jadi peluang baru untuk kegiatan ekspor otomotif.

"Tapi yang harus dilihat adalah negara tujuannya. Teknologi otomotif di Indonesia masih banyak yang kalah dari negara-negara TPP. Peluang ini akhirnya sekaligus jadi ancaman," imbuh Yanuarto.

Dia mencontohkan negara Korea dan Jepang. Yanuarto menuturkan, Indonesia sulit untuk masuk ke sana karena teknologi otomotifnya sudah Euro 6. Tapi, dengan TPP, mereka akan lebih mudah memasukkan mobil-mobil mewah yang belum diproduksi di Indonesia.

Begitu pula negara-negara lain seperti Amerika dan Singapura. "Tapi, peluang ekspor lainnya bisa terbuka dari negara seperti Australia, Selandia Baru, Peru, Chili, Argentina, dan Meksiko. Tapi, Indonesia harus mematangkan betul kekuatan daya saingnya," kata dia.

Secara umum, Yanuarto menyimpulkan, TPP harus melihat kembali kesiapan industrinya terutama dalam menghadapi daya saing global. Selain itu, dia juga menyarankan, perlu adanya kebijakan yang strategis untuk lebih mengembangkan produk yang bernilai tambang tinggi terutama CBU dan komponennya.

Pendapat berbeda disampaikan Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef. Enny bilang, Indonesia harus melihat TPP dari positioningnya saat ini. Enny menyampaikan, positioning Indonesia dalam perdagangan bebas hanya sebagai pendukung bagi bahan baku murah.

"Sementara, kita tidak punya produk-produk yang diperdagangkan dalam kerjasama tersebut. Jadi, pesimisme muncul karena kita tidak mampu membenahi positioning saat ini," ujarnya.

Untuk itu, Enny menyarankan agar segera mengejar industrialisasi agar memanfaatkan dan memenuhi perdagangan yang dilakukan. Khusus untuk sektor otomotif, Enny menyebut, perlu adanya fasilitas dan intensif agar lebih senang memproduksi daripada menjual.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, jangan berbicara TPP terbatas pada sisi ekspor dan impor. Febrio berpendapat, TPP harus dilihat dari risikonya. "Jika tidak ikut TPP, maka risikonya adalah kehilangan investasi," tambah Febrio.

Menurut Febrio, investasi dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, pemerintah jangan menutup telinga untuk sektor yang tidak siap. Dengan begitu, sektor-sektor tersebut perlu dimitigasi dan diberikan kompensasi agar bisa bertahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×