kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketersediaan dan keterjangkauan menjadi aspek utama pengalihan pola konsumsi energi


Jumat, 01 Maret 2019 / 19:31 WIB
Ketersediaan dan keterjangkauan menjadi aspek utama pengalihan pola konsumsi energi


Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan pengalihan pola konsumsi energi oleh masyarakat tergantung dua hal, yakni aspek ketersediaan dan keterjangkauan.

Pada dasarnya konsumen tidak mempermasalahkan, apakah menggunakan energi berbasis migas ataupun listrik, selama dua aspek tersebut terpenuhi, tergantung mana yang lebih mudah.

“Saat ini konsumen belum memikirkan apakah sumber energinya berasal dari batubara, migas, ataukah bagian dari energi baru terbarukan (EBT). Yang penting, energinya harus tersedia dan terjangkau,” jelasnya dalam siaran pers, Jumat (3/1).

Menurutnya, akan ada sejumlah manfaat yang diperoleh masyarakat, apabila nantinya pengalihan pola konsumsi ini terjadi. Misalnya saat terjadi migrasi ke mobil listrik.

“Manfaat langsung yang dirasakan konsumen, terutama karena yang digunakan energi listrik, termasuk energi bersih (clean energy). Ini dimungkinkan, mengingat ada sebagian masyarakat yang mulai sadar lingkungan. Maka di sini energi listrik menjadi pilihan, seperti halnya mobil listrik dan kompor listrik (induksi),” papar Fahmy.

Ke depan, sambungnya, pengalihan pola konsumsi energi masyarakat ke listrik akan terjadi, namun yang penting lagi, kembali dua hal itu harus ada, yakni terkait ketersediaan dan keterjangkauan.

Ia bilang, perubahan memang tidak bisa terjadi secara total dan cepat, melainkan secara bertahap. Tapi yang jelas, dengan adanya perpindahan pola konsumsi energi, akan penghematan.

“Jadi misal pemerintah memberikan subsidi solar, lalu subsidinya dialihkan kepada mobil listrik, maka otomatis akan mengurangi subsidi solar. Juga, terjadi penghematan beban energi yang ditanggung APBN," ungkapnya.

Selain itu, katanya, impor BBM akan jauh berkurang. Itu sebabnya pemerintah harus mendorong peralihan dari kendaraan yang menggunakan energi berbasis fuel kepada berbasis listrik, dan juga penggunaan kompor listrik (kompor induksi).

Senada juga dikatakan pakar ketenagalistrikan dan Guru Besar FT-UI Professor Iwa Garniwa. Ia mencontohkan penggunaan kompor listrik untuk memasak, manfaatnya lebih bersih (ramah lingkungan) dibandingkan menggunakan energi migas karena migas masih membakar dan menghasilkan emisi.

"Sementara pembangkit listrik yang ada saat ini, adalah PLTU yang lebih sedikit menggunakan batu bara dan sangat minim emisi yang diakibatkan," imbuhnya. Namun ia belum dapat menjelaskan secara pasti apabila ditinjau dari segi harga.

“Jika pemerintah memutuskan menaikkan atau menurunkan harga migas, bisa jadi harganya lebih mahal atau murah perbandingannya, antara memasak menggunakan bahan bakar migas atau listrik. Jadi penetapan harga itu relatif sifatnya,” papar Anggota Panitia Akreditasi Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×