Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan farmasi, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) bertekad meningkatkan kinerjanya pada tahun 2021 sembari terus melakukan ekspansi pengembangan bisnis.
Direktur Pengembangan Bisnis Kimia Farma Imam Fathorrahman mengungkapkan, tahun ini pihaknya menargetkan pendapatan sebesar Rp 11,27 triliun. Segmen bisnis seperti jasa layanan klinik dan laboratorium diagnostik, jasa layanan dan penyediaan obat-obatan Covid-19, hingga jasa layanan vaksinasi dipercaya akan tumbuh dan berkontribusi besar bagi pendapatan KAEF di tahun ini.
KAEF sendiri cukup getol dalam pengembangan produk baru yang berkaitan dengan Covid-19. Misalnya, produk Favipiravir yang mana KAEF telah memperoleh Nomor Ijin Edar (NIE) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk produksi dan distribusi obat tersebut di Indonesia.
Selain itu, KAEF telah memproduksi berbagai macam produk lainnya terkait Covid-19 seperti Chloroquine, Hydroxychloroquine, Rapid Test, Azithromycin, Immunomodulator, Multivitamin, dan Vitamin C.
Imam melanjutkan, KAEF juga selalu membuka peluang untuk penambahan jaringan distribusi, apotek, klinik kesehatan dan kecantikan, serta laboratorium klinik. Peningkatan jaringan distribusi produk secara offline maupun online melalui aplikasi Kimia Farma Mobile juga terus dilakukan oleh emiten pelat merah tersebut.
Baca Juga: Ini komentar Kimia Farma soal penangkapan petugas yang gunakan alat rapid test bekas
KAEF pun sejatinya memiliki jaringan layanan kesehatan yang terintegrasi di 34 provinsi Indonesia sehingga mampu memperkuat posisinya sebagai perusahaan farmasi dari hulu ke hilir secara terintegrasi. “Tahun 2021 kami berencana rebranding Kimia Farma Retail dan reformat desain outlet-outlet untuk meningkatkan pengalaman berkunjung para konsumen kami,” ungkap Imam dalam paparan publik virtual, Rabu (28/4).
Per 31 Desember 2020, KAEF memiliki 49 distributor, 1.278 apotek, 451 klinik kesehatan, 3 klinik kecantikan, dan 75 laboratorium klinik yang tersebar di Indonesia. Perusahaan ini pun memiliki 10 fasilitas produksi di tanah air.
Imam menambahkan, KAEF juga tengah fokus melebarkan pangsa pasarnya ke luar negeri, tepatnya Afrika dan Asia Tengah. Saat ini, pihaknya sedang melakukan kajian terkait pengembangan sejumlah produk obat yang akan diekspor ke wilayah tersebut. “Diharapkan dua kawasan ini jadi driver penjualan produk kami,” ujar dia.
Sebelumnya, pada tahun 2018 lalu, KAEF pernah melakukan ekspansi bisnis ke Arab Saudi dengan mengakuisisi saham Dawaa Medical Limited Company (Dawaa), salah satu anak perusahaan Marei Bin Mahfouz (MBM) Group yang bergerak di bidang kesehatan.
KAEF memiliki 60% saham Dawaa dan mendirikan perusahaan patungan (joint venture) bernama Kimia Farma Dawaa. Perusahaan ini pun telah menjadi entitas anak di Kimia Farma Group. Tak hanya itu, KAEF juga berambisi mengembangkan bahan baku obat (BBO) atau Active Pharmaceutical Ingredient (API) dalam rangka mengurangi tingkat impor produk tersebut.
Direktur Umum dan Human Capital KAEF Dharma Syahputra mengatakan, tahun 2020 lalu pihaknya telah menurunkan tingkat impor API sebesar 3,10% untuk produk seperti Simvastatin, Atorvastatin, Clopidogrel, dan Entecavir.
Adapun di tahun 2021, KAEF menargetkan penurunan impor API sebesar 6,96% untuk produk seperti Efavirenz, Lamivudine, Zidovudine, dan Tenofovir. Target penurunan impor API akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang hingga mencapai 21,42% pada tahun 2024 nanti.
Dia menyebut, pada tahap awal produksi API KAEF ditargetkan untuk pasar domestik sebagai substitusi impor. Potensi penjualan dan pengurangan impor sekitar 21,42% dapat tercapai jika API yang diproduksi KAEF dapat dimanfaatkan secara optimal oleh industri farmasi dalam negeri.
“Peningkatan skala ekonomi dilakukan melalui penetrasi pasar global dan sebagai langkah awal akan menyasar Asia Tenggara,” pungkasnya.
Selanjutnya: Kimia Farma (KAEF) mencetak penjualan Rp 10 triliun pada tahun 2020
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News