Reporter: Havid Vebri,Dessy Aritonang | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nasib sial terus menghantui para pengusaha batubara. Setelah para pimpinan lima perusahaan batubara dimasukkan dalam daftar cekal, kini pemerintah melarang enam perusahaan batubara lainnya untuk berlaga di pasar ekspor.
Mereka yang terkena kartu merah dari pemerintah ini adalah PT Antang Gunung Meratus, PT Tanjung Alam Jaya, PT Sumber Kurnia Buana, PD Baramarta, PT Kadya Caraka Mulia, dan PT Bangun Buana Persada. Mereka ini mengekspor batubara sebanyak 9,3 juta ton per tahun.
Adanya pelarangan terhadap enam perusahaan itu bukan tanpa alasan. Pemerintah sudah mengobok-obok kontrak penjualan jangka panjang (long term) milik enam perusahaan itu. Hasilnya memang mengejutkan. Kontrak penjualan memuat klausul harga tetap. Artinya, kontrak yang dibuat ternyata tidak menerapkan komitmen mengikuti harga pasar.
Alhasil, harga jual batubara mereka di bawah harga Indonesia Coal Index (ICI), patokan sementara yang dipakai pemerintah. Nah, patut diketahui, harga ICI periode 8 Agustus untuk batubara kalori tinggi sebesar US$ 148,90, kalori sedang US$ 126,47, dan kalori rendah US$ 87,48.
Tentunya, pemerintah tak mau rugi kalau harganya di bawah ICI. Sebab, pemerintah yang mempunyai bagian 13,5% dari produksi tidak dapat untung. "Larangan ekspor itu berlaku sejak Juli 2008, dan berlaku sampai mereka bersedia mengikuti harga pasar," kata Direktur Pengusahaan Batubara dan Mineral Departemen ESDM Bambang Gatot Ariyono di Jakarta, Selasa (12/8).
Saat ini tiga dari enam perusahaan itu sudah bersedia merubah harga ekspornya. Tapi sayang, Bambang enggan menyebutkan nama ketiga perusahaan tersebut. Yang jelas, menurut Bambang, kemungkinan masih akan ada perusahaan lain yang dilarang ekspor. Pasalnya, proses evaluasi terhadap seluruh kontrak ekspor batubara masih berlangsung. "Semua perusahaan akan kami perlakukan sama," ujarnya.
Ketua Masyarakat Batu Bara Indonesia Singgih Widagdo mengatakan, harga ekspor setiap perusahaan batubara yang tertera dalam kontrak berbeda-beda setiap tahunnya. Bila harga kontrak itu wajib disesuaikan dengan harga pasar, maka pemerintah perlu melakukan sosialisasi lagi. "Karena banyak perusahaan yang belum tahu. Karena itu, pengusaha dan pemerintah itu harus bertemu lagi membahas masalah ini, sehingga semua punya persepsi sama," timpalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News