kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.894.000   -2.000   -0,11%
  • USD/IDR 16.208   -7,00   -0,04%
  • IDX 7.898   -32,88   -0,41%
  • KOMPAS100 1.110   -7,94   -0,71%
  • LQ45 821   -5,85   -0,71%
  • ISSI 266   -0,63   -0,24%
  • IDX30 424   -3,04   -0,71%
  • IDXHIDIV20 487   -3,38   -0,69%
  • IDX80 123   -1,10   -0,89%
  • IDXV30 126   -1,56   -1,22%
  • IDXQ30 137   -1,32   -0,96%

Kiriman LPG dari Amerika, Bakal Kerek Anggaran Subsidi LPG 3 Kg pada Tahun 2026


Senin, 18 Agustus 2025 / 19:17 WIB
Kiriman LPG dari Amerika, Bakal Kerek Anggaran Subsidi LPG 3 Kg pada Tahun 2026
ILUSTRASI. Pekerja menata LPG 3 kg di agen Pondok Kacang, Tangerang Selatan, Banten, Senin (18/8/2025). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/08/2025. Keputusan RI untuk mengimpor LPG dari AS, sebagai bagian dari perjanjian tarif resiprokal berpotensi kuat mengerek subsidi LPG 3 kg tahun depan.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Indonesia untuk mengimpor Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Amerika Serikat, sebagai bagian dari perjanjian tarif resiprokal atau tarif timbal balik, berpotensi kuat mengerek subsidi LPG 3 kg tahun depan.

Sebagai gambaran, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah mengalokasikan subsidi LPG 3 kg sebesar Rp80,3 triliun, atau naik 16,89% dari outlook tahun ini yang senilai Rp68,7 triliun.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan, impor LPG dari AS berpotensi meningkatkan biaya subsidi LPG 3 kg di masa mendatang.

"Biaya logistik dari jalur pasokan yang jauh, tentu lebih besar dibanding impor dari negara-negara terdekat seperti Timur Tengah," kata dia kepada Kontan, Senin (18/08).

Baca Juga: Optimalkan Produksi Lokal, Bahlil: RI Belum Buka Keran Impor LNG

Syafruddin menambahkan, kenaikan biaya impor ini bisa berdampak langsung pada besarnya subsidi yang harus ditanggung pemerintah, apalagi jika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu menyeimbangkan strategi impor dengan diversifikasi sumber pasokan serta memperkuat ketahanan energi nasional agar tidak sepenuhnya bergantung pada biaya logistik yang tinggi," katanya.

Hal senada juga diungkap oleh Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede. Menurutnya, bila porsi impor dari AS meningkat, perbedaan rute dan jarak dapat menambah beban freight atau beban ongkos angkut dibanding impor dari Timur Tengah.

"Secara ilustratif, jika separuh pasokan 3 kg -atau sekitar 4 juta ton- dialihkan ke AS dan freight premium rata-rata US$ 30/ton dibanding rute Timur Tengah, tambahan biaya kotor akan berkisar US$ 120 juta (atau sekitar Rp2 triliun pada kurs Rp16.700) —yang pada akhirnya memperlebar kebutuhan subsidi," jelas Joshua.

Ia juga menyebut, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tidak merinci komitmen volume spesifik per asal negara, namun menegaskan bahwa fluktuasi harga acuan (CP Aramco) dan kurs adalah pendorong utama kebutuhan subsidi.

Adapun, dalam Nota Keuangan 2026, mencatat tren realisasi volume LPG 3 kg naik dari 7,5 juta ton pada 2021 menjadi 8,2 juta ton pada 2024, sementara kuota APBN 2025 di 8,17 juta ton.

"Untuk 2026, RAPBN tidak menuliskan angka kuota eksplisit, tetapi arah kebijakan adalah pengetatan sasaran melalui pencatatan berbasis NIK atau DTSEN," tambahnya.

Disamping itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menyarankan agar Indonesia dapat melanjutkan negosiasi dengan AS, sehingga tidak menerima begitu saja ketentuaan mengimpor sektor energi, termasuk LPG.

Dia membandingkan tarif yang diberikan AS terhadap negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Kamboja yang juga dikenakan 19% tanpa embel-embel impor produk tertentu.

"Indonesia harus pintar dalam bernegosiasi, memang kita diberikan 19%  tapi negara-negara ASEAN lain juga diberikan sama, tanpa adanya komitmen seperti Indonesia, maka dalam hal ini, kita harus negosiasi ulang," jelas Andry.

Ia menambahkan, pengalihan impor LPG hingga 80-85% berasal dari AS, justru membuat Indonesia makin terbebani dari faktor risiko.

"Harus ada diversifikasi resiko dan proses mitigasi resiko kedepannya, kalau bisa, tidak dari satu tempat saja (impor LPG), dan juga harus ekonomis," ungkapnya. 

Baca Juga: ESDM Targetkan Pembangunan Fasilitas LNG Terapung di Tiongkok Rampung Kuartal I-2027

Selanjutnya: Askrindo Syariah Perkuat Sinergi dengan Mitra Strategis Keuangan Syariah

Menarik Dibaca: Simak Manfaat Spirulina untuk Tumbuh Kembang Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mengelola Tim Penjualan Multigenerasi (Boomers to Gen Z) Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×