Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Mesti Sinaga
JAKARTA. Asososia Pertekstilan Indonesia mengatakan, langkah China melemahkan mata uangnya (devaluasi) memberi dampak negatif bagi pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia.
Pasalnya, dengan melemahnya mata uang China maka harga produk China menjadi lebih murah. Alhasil, tekstil impor dari China bisa membanjiri pasar Indonesia, dan menggerus pasar dan omzet pemain lokal. Di sisi lain, nilai ekspor TPT Indonesia ke China pun bisa turun.
Iwan S Lukminto, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), mengatakan, devaluasi yuan memang cukup mengejutkan.
"Kebijakan yang mengejutkan dari China devaluasi 2%, dan dilanjutkan 2% lagi memang sempat mengguncang pasar uang dunia. Kami selaku menajamen tetap dalam kondisi positif outlook terhadap dampak tersebut," ujar Iwan kepada KONTAN, Jumat (14/8).
Namun dengan ikut terdepresiasinya rupiah, maka SRIL yang lebih dikenal dengan nama Sritex, tetap kompetitif dalam persaingan di kancah internasional.
"Saat ini fundamental perusahaan kami masih sangat baik, yang didukung oleh manajemen dan sumber daya manusia yang sangat memadai. Besar harapan kami dalam waktu yang relatif singkat, guncangan pasar uang dan pasar modal segera berakhir dan pasar kembali stabil," ujar Iwan.
Tapi Iwan enggan merespons seberapa besar dampak devaluasi tersebut terhadap pasar dalam negeri maupun terhadap perusahaannya.
Saat ini Sritex sudah mengekspor produknya ke 55 negara, dengan 94 titik pasar di seluruh dunia.
Pembagiannya di Amerika Serikat sebanyak 11 negara, di Afrika 7 negara, Eropa 11 negara, Timur Tengah 7 negara, dan Asia Pasifik 19 negara.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan pada triwulan pertama tahun ini, nilai ekspor SRIL sebesar US$76,53 juta atau setara dengan 45,89% dari total pendapatannya pada triwulan I-2015 yang sebesar US$ 166,74 juta. Sisa pendapatan lainnya dari penjualan di pasar domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News