Reporter: Aprillia Ika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Komik atau yang lazim disebut sebagai cerita bergambar mempunyai sejarah yang panjang di Indonesia. Bahkan, komik lokal pernah mengalami masa keemasan sebelum akhirnya kalah bersaing dengan komik barat dan komik manga asal Jepang.
Menurut Surjorimba Suroto, salah satu pendiri komunitas KomikIndonesia.com, komik Indonesia mulai dikenal sejak tahun 1931, dalam bentuk strip di surat kabar.
Selang 22 tahun kemudian, komik dalam format buku mulai dikenal. Dalam sekejap, demam komik pun melanda. Maklum, pada masa awal kemerdekaan, jumlah media hiburan di negeri ini masih terbatas.
Popularitas komik terus menanjak hingga 1970-an. Tokoh-tokoh komik lokal seperti Gundala, Djaka Sembung, dan Godam menjadi ikon zaman keemasan komik Indonesia. Setelah itu, komik memasuki masa surut di awal 1980-an. Kata Surjo, panggilan akrab Surjorimba, kala itu, komikus dan penerbit terlena. Ketenaran membuat mereka lupa menciptakan terobosan baru.
Selain itu, di awal 1980, bioskop mulai jadi hiburan favorit keluarga dan TVRI berkembang pesat. Di saat yang sama, komik dari Eropa dan Amerika, yang masuk dalam format penuh warna (full color), mulai memenuhi rak-rak toko buku di tanah air.
"Waktu itu, teknologi cetakan di indonesia masih kurang bagus. Cetakan warna hanya untuk sampul depan. Itupun hanya memakai dua atau tiga warna saja. Tentu saja kalah dengan komik Eropa dan Amerika," ujar Surjo.
Satu dekade kemudian, giliran komik Jepang yang merajai. Komik Indonesia, terutama komik fiksi, akhirnya makin tersisih.
Komikus tak sejalan dengan industri
Surjo bilang, saat ini jumlah komikus dan penerbit yang serius menekuni dunia komik masih sedikit. "Kebanyakan memasuki dunia komik hanya sebagai hobi atau sampingan saja," keluhnya.
Pihak penerbit dan komikus juga kadang tak sejalan. Di satu sisi, banyak komikus yang bertingkah seperti seniman. Mereka menggarap komiknya kala mood saja. Padahal, penerbit membutuhkan konsistensi produk. Selain urusan mood para komikus, yang membuat industri ini terpukul adalah tingginya biaya distribusi dan pemasaran.
Dari satu judul komik yang masuk ke toko buku, kata Surjo, pemilik toko bisa mengambil margin antara 35%-50%. Dari jumlah itu, pihak distributor juga masih mengambil margin. Jadi, uang yang masuk ke kantong penerbit tak sampai 40%. Ini masih dikurangi untuk biaya pemasaran, biaya produksi, serta biaya royalti.
"Akhirnya, yang diterima pengarang komik maksimal hanya 10%. Itu pun masih dipotong pajak," keluh Surjo.
Komik label indie
Kondisi ini memicu maraknya penerbitan komik secara independen atau indie. Komikus melakukan semuanya mulai dari membuat, menggandakan (cetak atau fotokopi) dan menyebarkannya. Untuk promosi, mereka mengandalkan pameran bersama atau internet.
Saban pameran, Surjo mencatat, ada sekitar 15 sampai 20 penerbit indie yang masih konsisten menerbitkan karya komiknya. Pameran komik terdekat akan dilaksanakan pada 25 Juni di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, bertepatan dengan acara pekan produk kreatif.
Sayang, meski mulai variatif dan berani keluar dari jejaring penerbit dan toko buku mainstream, para komikus tak punya organisasi bersama. Padahal, dengan cara itu, mereka bisa menaikkan posisi tawar dalam jagat penerbitan. "Karena kebanyakan menganggap komik sebagai hobi atau kecintaan saja. Sehingga yang tumbuh justru komunitas-komunitas komik," ujar Surjo.
Menurut Surjo, kini potensi komik, khususnya komik pendidikan untuk segmen anak TK sampai SMP, masih besar. Sebab, anak-anak lebih cepat menangkap pelajaran lewat komik ketimbang teks. "Rata-rata sekali terbit satu judul antara 3.000 sampai 5.000 eksemplar. Harga rata-rata Rp 20.000 dan banyak judul naik cetak beberapa kali," lanjut Surjo.
Sementara, komik fiksi masih kurang berkembang karena belum punya dasar cerita yang kuat. Perkembangan komik lokal pun kalah dari komik Jepang yang seluruhnya fiksi.
Dari banyak komunitas komik yang ada di Nusantara, salah satu komunitas komik yang rajin memberikan informasi adalah Pragat Comic milik Ahmad Zeni, di Kebon Jeruk, Jakarta. Selama ini, Ahmad Zeni juga terkenal sebagai komikus Kakek Bejo.
Menurut Zeni, saat ini perkembangan komik fiksi masih kalah dari novel. Karenanya, dunia penerbitan komik, terutama komik indie, timbul tenggelam. "Kalau penerbit anggota IKAPI yang konsisten menerbitkan komik adalah PT Elex, MnC, serta Mizan. Rata-rata satu bulan satu judul baru," ujarnya. Adapun yang indie, bisa dihitung dengan jari. Misalnya M Production, Jagoan Komik, atau Metha Studio. "Karena pelakunya masih sedikit, industri komik belum berkembang sebesar industri komik jepang dan amerika. Di sana banyak komik yang sudah diangkat ke layar lebar," ujar Ahmad.
Selain itu, bayaran komikus Indonesia juga masih jauh dari layak. Tak heran, komikus Indonesia lebih suka mengerjakan pesanan ilustrasi komik luar negeri dibanding menerbitkan komik sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News