Reporter: Elisabeth Adventa, Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Tren kenaikan harga batubara, minyak sawit mentah (CPO), dan minyak bumi yang terjadi di awal tahun belum menjalar ke harga komoditas pertanian. Sejak Januari hingga Maret 2017, harga komoditas pertanian seperti beras, kakao, karet, kedelai, dan jagung masih stabil.
Bahkan ada kecenderungan harga beberapa komoditas pertanian itu lebih rendah dibandingkan Oktober hingga Desember 2016. Stabilnya harga komoditas pertanian global di kuartal I-2017 berbanding lurus dengan harga komoditas serupa di dalam negeri. Hanya saja memang ada beberapa komoditas yang terjadi ketimpangan harga cukup signifikan.
Ketimpangan harga terjadi karena harga sejumlah komoditas pertanian nasional diatur lewat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk melindungi petani. Berikut ulasan pada tiap komoditas.
Beras
Harga beras di dalam negeri sepanjang kuartal I-2017 cukup stabil. Meskipun awal tahun masuk masa paceklik beras, tapi tak ada gejolak harga beras yang cukup berarti.
Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifly Rasyid mengatakan, sepanjang awal tahun 2017, harga beras relatif stabil karena pasokan yang cukup. Hal ini disebabkan musim hujan yang berkepanjangan yang terjadi di tahun 2016 dan berlanjut hingga tahun 2017.
Dia bilang, saat ini harga beras jenis medium dijual antara Rp 8.200 - Rp 11.000 per kilogram (kg). "Kalau dibandingkan harga tahun lalu, harga beras tahun ini relatif stabil," imbuhnya, Selasa (26/4).
Ia memprediksi harga beras memasuki pertengahan tahun, bertepatan dengan momen puasa dan lebaran tahun ini masih akan tetap stabil. Prediksi itu karena sejumlah wilayah masih panen. Namun harga beras kemungkinan bakal melambung di akhir tahun, menyusul prediksi datangnya musim kemarau pada pertengahan tahun ini.
Tren stabilnya harga beras lokal juga tergambar dari pergerakan harga beras secara global. Rata-rata harga beras di pasar global dibanderol sekitar US$ 367 per ton atau dibawah US$ 10 per busel atau per 27 kilogram (kg). Ini berarti dikonversi dalam rupiah di bawah Rp 5.000 per kg.
Kakao
Awal tahun 2017 bisa dibilang masa kelam bagi komoditas kakao. Citra Indonesia sebagai salah satu produsen biji kakao terbesar dunia mulai pudar seiring menukiknya produksi kakao sejak tahun 2013 silam. Zulhefi Sikumbang, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengemukakan, saat ini harga kakao hanya senilai Rp 20.000 per kg atau sangat jauh dari biaya produksinya yang mencapai Rp 35.000 per kg.
Tak seimbangnya antara harga jual dan biaya produksi membuat para petani kakao mulai beralih ke komoditas kelapa sawit pada tahun ini. "Efeknya adalah produksi kakao akan terus menurun dalam beberapa tahun ke depan," ujarnya.
Menurutnya harga kakao dunia yang rendah sejak akhir tahun lalu dan berlanjut di awal tahun ini membuat daya tawar petani kakao berkurang. Pengenaan Bea Keluar (BK) sebesar 10% juga membuat petani memilih melepas kakao mereka ke pasar lokal karena tak mungkin bersaing ke pasar global.
Harga kakao global sendiri di awal tahun ini berada jauh di bawah harga ideal yang mencapai US$ 2.700 per ton dan hanya bercokol sekitar US$ 2.124 per ton atau jika dikonversi ke rupiah dibawah Rp 30.000 per kg.
Kedelai
Disparitas harga yang tinggi menjadi alasan mengapa Indonesia sulit swasembada kedelai. Disparitas harga jual kedelai lokal dan kedelai impor sangat jelas terlihat, begitu pun pada awal tahun ini.Ketua Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Yus'an mengatakan, selama triwulan pertama 2017 ini harga kedelai impor relatif stabil.
Saat ini harga kedelai di gudang para importir rata-rata antara Rp 6.300 per kilogram (kg) - Rp 6.500 per kg. "Kalau pun ada gejolak, kemungkinan itu kalau ada perubahan nilai tukar kurs yang ekstrem," ujarnya.
Sejatinya, harga kedelai global dalam tren melandai sejak awal tahun ini. Jika pada awal tahun dibuka pada level US$ 10,10 per busel, maka pada akhir Maret lalu harganya sudah di bawah US 10 per busel. Faktor kebijakan China yang menekan impor kedelai tahun ini menjadi pemicu stabilnya harga.
Rendahnya harga kedelai impor membuat kedelai lokal semakin kehilangan pamor. Pasalnya, saat ini harga kedelai lokal masih stabil di atas Rp 10.000 per kg atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan harga jual kedelai impor.
Karet
Harapan pelaku industri karet untuk mereguk untung ternyata hanya sesaat, karena kenaikan harga karet global yang terjadi akhir tahun lalu tak berlanjut di tahun ini.Azis Pane, Ketua Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) mengatakan harga karet saat ini jatuh dibandingkan akhir tahun lalu. Jika akhir tahun lalu harga karet global bisa mencapai sekitar US$ 2,58 per kg, maka harga rata-rata di kuartal I-2017 hanya sekitar US$ 2,25 per kg.
Berbagai faktor telah membuat harga karet global anjlok, salah satunya pergantian kebijakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump serta meningkatnya tensi keamanan di Semenanjung Korea yang membuat permintaan karet anjlok.Akibatnya saat ini harga karet di tingkat petani juga anjlok.
Setelah sempat menyentuh angka tertinggi di kisaran Rp 11.000 - Rp 12.000 per kg, kini petani harus rela menerima harga karet di kisaran Rp 5.000 - Rp 7.000 per kg. Karena itu, ke depan, Azis mengatakan, prospek harga karet masih dilanda ketidakpastian. Itulah sebabnya negara produsen karet harus kembali duduk bersama untuk mengatasi masalah ini.
Jagung
Ada yang berbeda dari kebijakan pemerintah dalam komoditas jagung tahun ini. Penutupan keran impor sepenuhnya membuat para importir jagung yang didominasi industri pakan ternak harus menyerap jagung lokal.
Padahal, bisa dibilang harga jagung impor sepanjang awal tahun ini cukup stabil dalam kisaran US$ 3,69 per busel atau jika dikonversi dalam rupiah di bawah Rp 2.000 per kg.
Namun hal ini tak mempengaruhi apapun. Sebab industri pakan harus bergantung pada jagung lokal yang ditetapkan harganya sebesar Rp 3.150 per kg.Hanya saja, pada praktek di lapangan, harga jagung lokal ternyata jauh lebih mahal ketimbang harga yang ditetapkan pemerintah.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo menyebut, harga jagung lokal pada awal tahun ini berada di atas Rp 4.000 per kg. "Bahkan, sejak April harganya sudah Rp 4.400 per kg," ujarnya.
Ia bilang kenaikan harga jagung lokal ini dipicu oleh kekhawatiran berkurangnya produksi dan tingginya minat industri pakan ternak. Apalagi, harus diakui meskipun ada panen jagung, tapi hanya panen di daerah tertentu saja yang bisa diserap industri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News