kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.880.000   -4.000   -0,21%
  • USD/IDR 16.260   50,00   0,31%
  • IDX 6.928   30,28   0,44%
  • KOMPAS100 1.008   6,44   0,64%
  • LQ45 773   2,07   0,27%
  • ISSI 227   2,98   1,33%
  • IDX30 399   1,47   0,37%
  • IDXHIDIV20 462   0,59   0,13%
  • IDX80 113   0,62   0,55%
  • IDXV30 114   1,38   1,22%
  • IDXQ30 129   0,27   0,21%

Konflik Dunia Picu Disrupsi Pelayaran: Indonesia Terpukul, Tapi Punya Peluang


Senin, 30 Juni 2025 / 20:44 WIB
Konflik Dunia Picu Disrupsi Pelayaran: Indonesia Terpukul, Tapi Punya Peluang
ILUSTRASI. Gejolak geopolitik yang meletup di sejumlah kawasan dunia mulai dari Eropa Timur, Timur Tengah, hingga tensi dagang antara Asia dan Amerika kian menekan stabilitas industri pelayaran dan distribusi energi global. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/14/05/2025


Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Gejolak geopolitik yang meletup di sejumlah kawasan dunia mulai dari Eropa Timur, Timur Tengah, hingga tensi dagang antara Asia dan Amerika kian menekan stabilitas industri pelayaran dan distribusi energi global.

Di tengah kabut ketidakpastian ini, pelaku usaha pelayaran nasional harus bekerja ekstra untuk menjaga kelangsungan operasional.

Mereka dihadapkan pada risiko biaya yang kian tinggi dan rute pelayaran yang semakin tak efisien.

Baca Juga: Di Tengah Konflik Timur Tengah, Samudera Indonesia (SMDR) Catat Lonjakan Laba 52,7%

Pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Marcellus Hakeng menilai bahwa konflik bersenjata seperti perang Rusia–Ukraina, ketegangan Iran–Israel, serta rivalitas ekonomi Amerika Serikat dan China telah mengguncang jalur-jalur strategis pelayaran dunia.

Dampaknya, arus distribusi energi dan barang terganggu secara signifikan.

“Selat Hormuz dan Laut Hitam adalah jalur utama perdagangan global. Ketika dua kawasan ini terganggu, dampaknya langsung terasa pada biaya logistik global. Kapal harus memutar rute, premi asuransi naik, dan harga bahan bakar kapal (bunker fuel) melonjak. Akibatnya, biaya pelayaran bisa naik 20% hingga 30%,” jelas Marcellus kepada Kontan.co.id, Senin (30/6).

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, volume angkutan minyak mentah dari Laut Hitam dilaporkan turun lebih dari 40%.

Situasi serupa juga terjadi di Selat Hormuz jalur distribusi sekitar 30% ekspor minyak dunia yang mencatat penurunan lalu lintas kapal tanker energi hingga 20% sejak kuartal II-2025.

Baca Juga: Pelindo Percepat Normalisasi Alur Pelayaran di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu

Indonesia sebagai negara net importir energi turut terdampak. Harga minyak dunia yang tetap tinggi membuat pemerintah harus menambah alokasi subsidi untuk menjaga stabilitas dalam negeri.

“Jika harga minyak bertahan di atas US$110 per barel, potensi pembengkakan subsidi bisa mencapai Rp75 triliun. Distribusi logistik ke wilayah timur Indonesia juga terganggu karena biaya pelayaran naik,” tambah Marcellus.

Kondisi ini mendorong perusahaan pelayaran untuk beradaptasi. Operator kapal kecil dan menengah, misalnya, banyak yang mengurangi frekuensi pelayaran atau bahkan menghentikan rute ke daerah terpencil karena sudah tidak lagi ekonomis.

“Biaya asuransi untuk wilayah konflik melonjak. Ini bukan hanya soal mahal, tapi juga soal risiko. Bagi operator kecil, ini tekanan yang sangat berat,” ujarnya.

Namun, di balik tantangan ini juga muncul peluang strategis. Banyak perusahaan logistik global mulai mempertimbangkan jalur alternatif di kawasan Asia Tenggara dan Samudra Hindia.

Indonesia dinilai punya posisi geografis strategis untuk menangkap momentum ini asal pemerintah mempercepat reformasi pelabuhan dan infrastruktur logistik.

Baca Juga: INSA Waspadai Gangguan Pelayaran dan Logistik Akibat Perang Iran vs Israel

“Pelabuhan seperti Patimban dan Kuala Tanjung bisa menjadi simpul logistik baru. Tapi tanpa efisiensi bongkar muat dan digitalisasi, kita bisa tertinggal dari Singapura atau Port Klang,” tegas Marcellus.

Ia menilai, pemerintah Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton. Intervensi fiskal dan insentif kebijakan diperlukan untuk mendukung pelayaran nasional, misalnya melalui subsidi terbatas untuk kapal rakyat, serta akses pembiayaan armada yang lebih efisien dan tahan risiko.

Di tingkat global, lembaga seperti Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan Badan Energi Internasional (IEA) perlu lebih aktif menjaga keamanan jalur pelayaran strategis.

“Sistem peringatan dini dan kerja sama maritim regional juga harus diperkuat. Indonesia bisa mengambil peran aktif di ASEAN atau kerja sama Indo-Pasifik untuk menjaga stabilitas laut,” katanya.

Di sisi lain, sebagian pelaku usaha justru melihat peluang dari ketegangan geopolitik ini.

Baca Juga: INSA Waspadai Gangguan Pelayaran dan Logistik Akibat Perang Iran vs Israel

Pek Swan Layanto, Direktur Hubungan Investor Wintermar Offshore, menyebut bahwa kenaikan investasi hulu migas global akibat ketidakpastian pasokan energi ikut mendongkrak permintaan armada kapal untuk aktivitas pengeboran dan layanan bawah laut (subsea).

Senada, Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk, Bani M. Mulia, menyatakan bahwa meski situasi geopolitik menantang, perdagangan global tetap bergerak.

“Penutupan Selat Hormuz secara teknis sangat sulit dilakukan. Fakta menunjukkan bahwa volume perdagangan sepanjang 2025 justru meningkat. Kami juga sudah mengantisipasi risiko geopolitik dengan strategi mitigasi operasional,” jelas Bani dalam paparan publik, Senin (1/6).

Selanjutnya: Iran Resmi Larang Starlink! Pengguna Terancam Denda, Cambuk, dan Penjara

Menarik Dibaca: Tiket Diskon KAI Terjual 1,89 Juta Kursi, Ini KA dengan Tarif di Bawah Rp 100 Ribu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×