Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai tak ada alternatif yang bisa secara maksimal mengatasi risiko dari pemangkasan transfer ke daerah (TKD).
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2026, pemerintah menetapkan jumlah TKD sebesar Rp 650 triliun, turun 24,7% dari outlook TKD 2025.
Terkait itu, Direktur Eksekutif KPPOD Herman N. Suparman secara khusus menyoroti soal penurunan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kegiatan fisik dari Rp 36 triliun menjadi Rp 5 triliun. Pasalnya, dana ini digunakan daerah untuk pembangunan infrastruktur.
“Selama semester I-2025 saja daerah cukup kesulitan untuk pembangunan infrastruktur, mulai dari pembangunan jalan, irigasi, sanitasi, juga air minum. Karena DAK fisik saat ini juga sudah dipangkas jadi sekitar Rp 18 triliun akibat efisiensi,” ungkap Herman kepada Kontan, Kamis (4/9/2025).
Berdasarkan informasi yang diterima Kontan, saat ini sedang ada pertimbangan penggunaan skema penerbitan instruksi presiden (Inpres) untuk anggaran pembangunan daerah. Inpres ini bakal diterbitkan setelah pemerintah daerah (Pemda) mengirimkan proposal pembangunan langsung ke pemerintah pusat.
Herman mengonfirmasi rencana itu. Namun, ia bilang skema ini tak serta-merta menjadi solusi, sebab tak memberikan kepastian mengingat kontrolnya berada di pemerintah pusat. Dus, peluang tembusnya sangat bergantung pada prioritas pemerintah pusat.
Baca Juga: Soal Rencana Pemotongan Transfer ke Daerah, Anggota Komisi II DPR Ingatkan Bahayanya
Ia membeberkan sudah ada sejumlah daerah yang mendapat program pembangunan infrastruktur melalui Inpres yang diterbitkan pada tahun 2024, tetapi hingga saat ini realisasinya masih nihil. “Sampai bulan September ini belum juga sekalipun dijalankan,” kata Herman.
Selain itu, skema ini tak menjamin penerimaan yang merata. Herman menjelaskan, melalui skema DAK fisik selama ini, Pemda sebagai pihak yang paling dekat dengan pembangunan bakal menyalurkan dana sesuai prioritas. Jika kini penyaluran dilakukan pemerintah pusat, ada risiko penyalurannya tak tepat sasaran sesuai tingkat urgensi atau kebutuhan.
Baca Juga: Sri Mulyani Jelaskan Alasan Penyusutan Anggaran Transfer ke Daerah pada RAPBN 2026
Permasalahan selanjutnya dari skema ini adalah soal akuntabilitas dan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Melalui skema Inpres ini, Herman bilang proses pengadaan barang dan jasa bakal dilakukan dari pemerintah pusat. Dalam hal ini, ada risiko tertentu dalam proses pengiriman dari pusat ke daerah. “Siapa yang menjamin akuntabilitas ketika rentang kendalinya jauh sekali dari Jakarta ke daerah-daerah?” sebutnya.
Pun, pengadaan barang dan jasa dari pusat kontradiktif dengan cita-cita DAK fisik untuk menumbuhkan ekonomi daerah. Herman menyebut ini menjadi efek bola salju yang mengancam kondisi fiskal daerah dan berisiko mendorong Pemda menaikkan pajak demi menambal pemasukan, seperti yang sempat terjadi di Pati dan berbagai daerah lain.
Pendanaan Alternatif Sulit Dilakukan
Herman bilang memang sudah ada sejumlah skema pendanaan alternatif yang disiapkan untuk mengatasi polemik ini, sebut saja upaya optimalisasi BUMD atau pendanaan hijau melalui carbon trading. Namun, semua itu dinilai sulit memberikan dampak tahun depan, ketika pemangkasan TKD sudah berlaku.
Baca Juga: Anggaran Transfer ke Daerah Turun 24,7%, DPR Dorong Optimalisasi BUMD dan UMKM
Menurutnya yang paling realistis dilakukan untuk tahun depan adalah pinjaman. Namun, pinjaman juga menyimpan risiko tersendiri jika kemampuan membayar daerah lemah di tengah kondisi fiskal yang rentan.
Opsi lainnya adalah retribusi dari pajak daerah. Namun, ia menekankan perlu ada pembenahan pada sistem penagihan untuk memastikan pemungutannya tepat sasaran.
“Selama ini seringkali kami lihat database dan manajemen data tidak rapi, sehingga ada yang potensinya (pajak) besar, menguap begitu saja. Perlu ada reformasi ke sistem digital,” jelas Herman.
Kendati begitu, Herman bilang ekspektasi utamanya tetap pemerintah mempertimbangkan ulang pemangkasan TKD. “Karena itu bisa berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada gilirannya merembet ke masalah-masalah lain termasuk sosial,” pungkasnya.
Baca Juga: KPPOD Apresiasi Langkah Cepat Prabowo Putuskan Polemik 4 Pulau Kembali ke Aceh
Selanjutnya: Sustainalytics Nobatkan Bank Mandiri Peringkat ESG Risk Rating Tertinggi ASEAN
Menarik Dibaca: Queen Mantis dan 5 Drakor Kriminal Pembunuh Sadis Penuh Misteri Menegangkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News