Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tampak belum berakhir. Situasi ini berpotensi mengancam kinerja impor bahan baku industri manufaktur nasional.
Berdasarkan pantauan di situs Bloomberg, kurs rupiah telah melemah hingga ke zona Rp 16.000 per dolar AS sejak akhir Mei 2024. Pada Kamis (20/6), rupiah terperosok ke level Rp 16.430 per dolar AS.
Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI), Subandi, menyebut bahwa depresiasi rupiah yang berkepanjangan jelas berdampak pada kegiatan impor di Indonesia. Perlambatan impor bahan baku untuk industri sangat mungkin terjadi ketika rupiah terus melemah.
Baca Juga: Harga Emas Menguat Terbatas, Ini Prediksi Hingga Akhir Tahun
Merujuk situs Satu Data Kementerian Perdagangan (Kemendag), impor bahan baku pendukung tercatat sebesar US$ 13,46 miliar pada Januari 2024. Angka ini kemudian turun menjadi US$ 13,30 miliar pada bulan Februari dan berlanjut turun menjadi US$ 13,21 miliar pada bulan Maret. Impor bahan baku kembali turun menjadi US$ 12,59 miliar pada April 2024.
Para importir tidak hanya menghadapi mahalnya harga produk, tetapi juga kenaikan pajak impor yang dihitung berdasarkan harga barang dalam satuan dolar AS yang dikonversi ke rupiah.
Selain itu, importir juga menanggung kenaikan biaya transportasi kapal yang menggunakan kurs dolar AS.
"Ada juga biaya pelayanan di dalam negeri yang ikut naik meskipun dibayar dalam mata uang rupiah, tetapi tarifnya dalam mata uang dolar AS, seperti biaya Terminal Handling Charges (THC) di Agen Pelayaran Asing," ungkap Subandi, Kamis (20/6).
Para importir memiliki beberapa strategi untuk mempertahankan bisnisnya di tengah gejolak rupiah. Salah satunya adalah mengurangi volume atau menunda kegiatan impor sampai rupiah stabil. Konsekuensinya, ada potensi penurunan aktivitas operasional yang berisiko pada pengurangan karyawan di perusahaan importir.
Kebijakan Harga Jual
Strategi lainnya adalah menaikkan harga jual produk impor, meski sulit karena daya beli masyarakat sedang menurun.
Pelaku usaha impor juga bisa mengurangi ukuran produk yang diimpor. "Upaya ini sudah dilakukan sejak rupiah bergerak di atas Rp 14.500 per dolar AS," imbuh Subandi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI), Aziz Pane, menyatakan bahwa pelemahan rupiah sangat berdampak pada industri ban nasional. Saat ini, produsen masih memiliki stok bahan baku yang diimpor berbulan-bulan lalu ketika rupiah berada di kisaran Rp 15.500 per dolar AS.
Namun, ke depan, produsen ban akan lebih hati-hati dan selektif dalam impor bahan baku dan produksi ban. "Kami hanya akan membuat produk yang memiliki peluang besar diserap pasar," kata Aziz, Kamis (20/6).
Di tengah mahalnya harga bahan baku dan membengkaknya biaya produksi, pasar ban dalam negeri kurang kondusif karena melemahnya daya beli masyarakat. Hal ini membuat produsen ban sulit menyesuaikan harga produk.
APBI berharap pelemahan rupiah segera berakhir agar kinerja industri ban tetap tumbuh positif hingga akhir 2024.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengatakan bahwa pelemahan rupiah sangat berdampak pada industri petrokimia, terutama sektor hilir seperti industri kemasan plastik. Industri ini membeli bahan baku dengan kurs dolar AS, namun menjual produk dalam kurs rupiah.
Baca Juga: Menko Airlangga soal Pelemahan Rupiah: Kita Monitor Saja
Pasar domestik kurang bersahabat bagi pengusaha kemasan plastik karena maraknya barang impor dari China. Akibatnya, mereka sulit bersaing dan tidak bisa leluasa menyesuaikan harga jual meskipun biaya produksi melambung.
"Kemungkinan kinerja industri petrokimia dan turunannya akan turun tahun ini," tutur Fajar, Kamis (20/6).
Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) juga menyebutkan bahwa impor bahan baku produk elektronik menjadi lebih menantang sejak kurs rupiah melemah. Sekitar 70% bahan baku dan komponen elektronik masih diimpor dengan transaksi dolar AS.
Kemungkinan besar, produsen elektronik akan menaikkan harga jual produknya selama tren pelemahan rupiah berlangsung.
"Jika kurs terus berada di atas Rp 16.000 per dolar AS, mau tidak mau kami harus menaikkan harga. Idealnya sekitar 2% sampai 5%," ucap Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman, Kamis (20/6).
Namun, penyesuaian harga ini bisa menimbulkan risiko penurunan permintaan karena daya beli konsumen yang tertekan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News