Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah merancang draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Rencananya, RPP itu akan memuat sejumlah pengendalian produksi, penjualan, dan sponshorship produk tembakau. RPP tersebut dinilai bisa mengancam keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Dari data Peneliti Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), RPP Kesehatan ini turut berdampak ke penerimaan pajak negara. Di mana datanya menunjukkan negara bisa kehilangan penerimaan perpajakan sebesar Rp 52,8 triliun. Kehilangan penerimaan perpajakan ini dihitung atas tiga skenario.
Baca Juga: Gaprindo Minta Pemerintah Petimbangkan Lagi Penerapan RPP Kesehatan
Skenario pertama, dampak jumlah kemasan dikuantifikasi dengan penurunan produksi secara agregat pada hasil tembakau sebesar 20%. Lewat skenario ini, maka penerimaan perpajakan yang hilang diperkirakan sebesar Rp 40,07 triliun.
Skenario kedua, dampak pemasangan produk dikuantifikasi dengan penurunan permintaan jasa ritel (perdagangan eceran) sebesar 5%. Melalui skenario ini, maka penerimaan perpajakan yang hilang diperkirakan sebesar Rp 9,95 triliun.
Dan ketiga yakni dampak pembatasan iklan tembakau dikuantifikasi dengan penurunan permintaan jasa periklanan sebesar 5%. Melalui skenario ini, maka penerimaan perpajakan yang hilang diperkirakan sebesar Rp 2,78 triliun.
Ari Kusuma, Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan mengatakan terkait dengan RPP Kesehatan ini DJBC turut mengikuti secara intens aturan tersebut.
"Berdasarkan kajian yang kami lakukan di tahun ini khususnya sigaret kretek tangan telah mengalami peningkatan produksi yang cukup tinggi dan menyerap tenaga kerja hingga 15.000 baru terserap," ujar Ari dalam paparan Diskusi Publik RPP Kesehatan secara virtual, Rabu (20/12).
Ari menyampaikan aturan mengenai larangan display produk juga menjadi concern bea dan cukai. Menurutnya hal itu membuat display kemasan legal maupun ilegal yang di pasaran menjadi serupa sehingga tak ada lagi pembeda dari merek satu ke merek lain.
Selain itu juga dalam substansi penyelenggaraan produksi dan impor, RPP ini juga akan melarang kemasan rokok kurang dari 20 batang.
"Ini juga menjadi penyulit bagi kami untuk melakukan pengawasan," jelasnya.
Baca Juga: Industri Ritel dan Periklanan Terkait Rokok Bakal Terdampak Isi RPP Kesehatan
Selain itu, larangan memajang produk rokok di ritel-ritel juga dinilai bisa menghambat proses pengawasan bea dan cukai pada rokok-rokok ilegal. Sebab DJBC akan sulit melakukan pemeriksaan jika tidak ada indikasi produk tembakau yang dijual apakah itu legal ataupun ilegal.
Berdasarkan data DJBC, hingga Oktober 2023 nilai atau jumlah batang yang ditindak mencapai 641 juta batang rokok atau meningkat dari tahun lalu sekitar 578 juta batang. Adapun nilai barang yang ditindak mencapai Rp 778 miliar atau naik dari Rp 612 miliar di tahun 2022.
"Nah ini kegiatan pengawasan rokok ilegal yang semakin tinggi, sehingga tantangan yang ada ini menjadi concern kami juga," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News