kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Larangan Ekspor di Juni 2023 Akan Berdampak pada 20 Juta Ton Bijih Bauksit


Minggu, 26 Februari 2023 / 13:12 WIB
Larangan Ekspor di Juni 2023 Akan Berdampak pada 20 Juta Ton Bijih Bauksit
ILUSTRASI. Produksi bauksit


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - BOGOR. Pemerintah akan tegas melaksanakan moratorium ekspor bijih bauksit pada Juni 2023. Adapun menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekitar 20-an juta ton bijih bauksit akan terdampak dari kebijakan ini.

Sub Koordinator Penyiapan Program Mineral Kementerian ESDM, Dedi Supriyanto menjelaskan, pada Juni 2023 akan dilakukan pelarangan ekspor bijih bauksit.

“Produksi bijih bauksit di 2022 sebesar 27,7 juta ton dan baru terserap 7,8 juta ton. Sisanya 20-an juta ton orientasinya ekspor. Jadi yang akan terdampak pelarangan ekspor sebesar 20 juta itu, kecuali ada pengembangan diserap oleh domestik,” jelasnya di Bogor, Sabtu (25/2).

Sedikit menggambarkan, proses pengolahan bauksit hingga menjadi aluminium ingot melalui dua tahapan. Tahap pertama, bijih bauksit diolah di refinery atau fasilitas pemurnian hingga menjadi alumina. Tahap kedua, alumina akan diproses lebih lanjut di smelter untuk menghasilkan aluminium ingot.

Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Banyak Pembangunan Refinery Bauksit Masih Tanah Kosong

Dedi menjelaskan lebih lanjut, sebanyak 7,8 juta ton bijih bauksit yang diserap ke dalam negeri akan diproses menjadi 3,9 juta ton alumina.

Kemudian, 3,9 juta ton alumina tersebut baru bisa diserap oleh dalam negeri yakni di smelter milik PT Indonesia Asahan Luminium (Inalum) sebanyak 500.000 ton untuk menghasilkan 250.000 ton aluminium ingot.

“Adapun sisa 3,4 juta ton alumina tersebut masih bisa diekspor,” terangnya.

Dedi mengakui, untuk menyerap seluruh 3,9 juta ton alumina ini maka harus ada 8 kali smelter seperti Inalum.

Saat ini, Dedi mengungkapkan, konsumsi aluminium ingot di Indonesia cukup besar yakni 1 juta ton setiap tahunnya. Lantas, jika baru bisa memproduksi 250.000 ton aluminium ingot, maka Indonesia harus mengimpor 750.000 ton sisanya.

Menurut Dedi salah satu tantangan terbesar untuk membuat industri seperti Inalum ialah harga listriknya harus murah. Maka itu Inalum menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga AIr (PLTA) untuk melistriki smelternya.

Baca Juga: Larangan Ekspor Bijih Bauksit Dipastikan Mulai Juni 2023, Bagaimana Mineral Lainnya?

Dedi menyatakan, saat ini ada satu perusahaan PT Bintan Alumina Industri yang sedang membangun kompleks industri bauksit, alumina, dan aluminium ingot yang listriknya berasal dari PLTU. Alasan perusahaan tersebut berani menggunakan pembangkit batubara meski harga listriknya agak mahal yakni US$ 10 per cent KWh, biaya listrik akan tergantikan dengan industri hilirnya.

Sedangkan smelter aluminium milik PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang ada di Kalimantan Utara akan menggunakan PLTA sebagai sumber energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×