Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Situs e-commerce Lazada.co.id ingin menjadi bagian dari perkembangan industri layanan jual beli online. Pasalnya, potensi dalam industri ini sangat besar.
Berdasarkan pernyataan lembaga riset McKinsey and Co, Indonesia merupakan salah satu pasar e-commerce yang bertumbuh paling pesat di dunia. Pada 2025, setidaknya Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan bertambah sekitar Rp 2.000 triliun (US$ 150 miliar) dari sektor ekonomi digital.
Sayangnya, potensi itu belum sepenuhnya digarap maksimal. Kendala utamanya adalah edukasi.
Karena alasan ini, Lazada telah membawa 33 seller pilihan yang bergabung dalam marketplace Lazada dari berbagai negara di Asia Tenggara ke kantor pusat Alibaba di Hangzhou, Tiongkok, untuk mempelajari strategi terbaik terkait penjualan online.
Di sana, para seller berkesempatan bertemu para eksekutif Alibaba dan mendapatkan insights seputar e-commerce. Mereka juga mengikuti sesi pelatihan, strategi kampanye, serta perencanaan produk dari Universitas Taobao milik Alibaba.
"Mereka mendapatkan informasi dan belajar dari kesuksesan seller lain, dan juga mendapat masukan untuk membantu mereka mengembangkan bisnis mereka di masa depan," jelas Florian Holm, Co-CEO Lazada Indonesia dalam keterangan resminya, Selasa (21/3).
Bukan tanpa alasan Lazada memilih Tiongkok sebagai media edukasi. Kini, e-commerce mewakili lebih dari 10% keseluruhan ritel di Tiongkok. Indonesia sendiri hanya dalam beberapa tahun telah menunjukkan situasi pasar yang serupa dengan adanya pergeseran paradigma yang ditimbulkan oleh tren e-shopping.
Florian menuturkan, kemiripan lain antara Tiongkok dan Indonesia terletak pada fakta bahwa pasar e-commerce di kedua negara cukup tersentralisasi.
Tidak seperti pasar e-commerce di negara-negara barat yang memiliki karakteristik dengan kebanyakan retailer mengoperasikan e-storenya secara independen, di Tiongkok kebanyakan retailer mengoperasikan lapaknya di Tmall milik Alibaba.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Marketplace consumer-to-consumer (C2C) terus tumbuh dengan kondisi yang sehat, dan brand-brand baru baik kecil maupun besar terus bergabung dengan platform marketplace, antara lain Lazada Indonesia tiap harinya.
Cara perbandingan seperti, lanjut Florian, dikenal oleh investor dan stakeholder sebagai teori ‘time capsule’. Namun, meski menggunakan Tiongkok sebagai barometer, Lazada juga menyadari bahwa pasar Indonesia memiliki tantangan tersendiri dibanding dengan pasar Tiongkok.
Salah satunya, belum ada pemain besar yang mendominasi, walaupun terdapat banyak perusahaan dan bank-bank besar yang meluncurkan e-wallet di seluruh area nusantara dengan versinya masing-masing.
Oleh sebab itu, selain edukasi, alasan ini juga yang membuat Lazada berupaya untuk berinovasi dengan menyesuaikan kebiasaan setempat. layanan cash on delivery (COD) misalnya.
"Kami percaya pendekatan ‘time capsule’ di Indonesia akan membuahkan hasil, dengan sejumlah adaptasi lokal untuk mengatasi berbagai tantangan unik yang muncul dari ruang lingkup lokal," tutur Florian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News