Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
Menurut Hadi, Indonesia sudah berada pada arah yang tepat: tidak sepenuhnya menyerahkan harga pada pasar, namun tetap menjaga ruang subsidi dalam jumlah terbatas.
Itu sebabnya ia menilai Indonesia tidak perlu meniru Malaysia yang justru menambah tekanan subsidi dengan menurunkan harga BBM terlalu rendah.
Hadi juga mengingatkan perbandingan harga BBM tidak bisa dilepaskan dari ruang fiskal masing-masing negara.
Baca Juga: Akhirnya, Shell Beli BBM Base Fuel 100.000 Barel dari Pertamina Patra Niaga
“Pendapatan negara dan belanja pemerintah mereka berbeda. Kebijakan energi Malaysia juga sarat pertimbangan politik. NKRI tidak boleh ikut-ikutan tanpa studi fiskal yang mendalam,” tegasnya.
Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kedua negara pada dasarnya menganut pola yang sama yakni regulated market, di mana harga BBM ditentukan pemerintah, bukan pasar sepenuhnya.
“Rujukan kebijakan subsidi BBM Indonesia dan Malaysia sama, yaitu mensubsidi harga produknya, bukan subsidi langsung ke pengguna tertentu,” ujarnya kepada Kontan, Senin (8/12).
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga dan Pemda Aceh Percepat Upaya Pemulihan Penyaluran BBM dan LPG
Menurut Pri Agung, yang membuat harga di Malaysia jauh lebih rendah adalah besarnya porsi subsidi per liter. Pemerintah Malaysia menyediakan subsidi lebih besar dibanding Indonesia, sehingga harga eceran bisa ditekan.
Sementara Indonesia menyeimbangkan dua hal: menjaga daya beli masyarakat, tetapi tetap mengarahkan konsumsi energi menuju efisiensi dan menghindari lonjakan biaya kompensasi.
Selanjutnya: Purbaya Ungkap Negara Rugi Rp 25 Triliun per Tahun Karena Skema Pajak Batubara
Menarik Dibaca: Penjualan Tiket KA untuk Masa Nataru Meningkat, Ini Rute Favorit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













