Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi sorotan setelah Pemerintah Malaysia menegaskan komitmennya terhadap skema subsidi tepat sasaran untuk bensin RON95.
Negeri Jiran itu bahkan menolak usulan Bank Dunia yang ingin menaikkan harga bensin ke tingkat keekonomian pasar.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim memastikan harga RON95 justru diturunkan menjadi RM 1,99 per liter (Rp 8.059) untuk warga Malaysia dan RM 2,60 per liter (Rp 10.530) bagi warga asing.
“Ini menunjukkan pendekatan kami bijaksana dan dapat bermanfaat bagi rakyat,” kata Anwar saat menyampaikan RUU Penyediaan 2026 di Dewan Negara, dikutip Malay Mail.
Baca Juga: Stok BBM SPBU Swasta Normal, Harga Shell–BP–Vivo Kompak Naik per Desember 2025
Bank Dunia sebelumnya mengusulkan harga seluruh jenis bensin dinaikkan ke RM 2,65 per liter (Rp 10.757), dengan skema subsidi untuk kelompok tertentu. Namun pemerintah Malaysia satu suara menolak rekomendasi tersebut.
Pemerintah tetap mempertahankan pendekatan subsidi tertarget melalui program BUDI Madani RON95 (BUDI95) untuk mempersempit kebocoran subsidi kepada non-warga dan penggunaan komersial.
Selain itu, Anwar menyatakan pemerintah tidak akan memperkenalkan pajak baru untuk menutup belanja tambahan. Efisiensi belanja, peningkatan kepatuhan pajak, serta pencegahan kebocoran subsidi dinilai cukup untuk menjaga ruang fiskal Malaysia tetap sehat.
Sebagai gambaran, di Indonesia, RON95 setara dengan Pertamax Green 95 milik Pertamina, Shell V-Power, BP Ultimate, dan Vivo Revvo 95. Harga produk-produk tersebut berada jauh di atas Malaysia karena sudah mengacu pada formula keekonomian dan sebagian besar tidak disubsidi.
Baca Juga: Shell Super Kembali Tersedia di 46 SPBU Jakarta, Simak Daftar Lokasinya
Per Desember 2025, harga BBM nonsubsidi di Indonesia untuk jenis RON 92 dan RON 95 tercatat sebagai berikut: Untuk RON 92 (Pertamax), harga kini dipatok sekitar Rp 12.750 per liter. Untuk RON 95 (Pertamax Green), harga terbaru ada di kisaran Rp 13.500 per liter.
Praktisi migas sekaligus Direktur Utama Petrogas Jatim Utama Cendana Hadi Ismoyo menilai, perbedaan harga antara kedua negara mencerminkan karakter kebijakan energi masing-masing.
“Setiap negara punya tatanan energi berbeda. Negara dengan ekonomi lebih mapan banyak yang menganut liberalisasi harga energi untuk mendorong efisiensi. Subsidi itu seperti obat, dipakai terus bisa membuat kecanduan dan merusak ekonomi jangka panjang,” ujarnya kepada Kontan, Senin (8/12).
Menurut Hadi, Indonesia sudah berada pada arah yang tepat: tidak sepenuhnya menyerahkan harga pada pasar, namun tetap menjaga ruang subsidi dalam jumlah terbatas.
Itu sebabnya ia menilai Indonesia tidak perlu meniru Malaysia yang justru menambah tekanan subsidi dengan menurunkan harga BBM terlalu rendah.
Hadi juga mengingatkan perbandingan harga BBM tidak bisa dilepaskan dari ruang fiskal masing-masing negara.
Baca Juga: Akhirnya, Shell Beli BBM Base Fuel 100.000 Barel dari Pertamina Patra Niaga
“Pendapatan negara dan belanja pemerintah mereka berbeda. Kebijakan energi Malaysia juga sarat pertimbangan politik. NKRI tidak boleh ikut-ikutan tanpa studi fiskal yang mendalam,” tegasnya.
Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kedua negara pada dasarnya menganut pola yang sama yakni regulated market, di mana harga BBM ditentukan pemerintah, bukan pasar sepenuhnya.
“Rujukan kebijakan subsidi BBM Indonesia dan Malaysia sama, yaitu mensubsidi harga produknya, bukan subsidi langsung ke pengguna tertentu,” ujarnya kepada Kontan, Senin (8/12).
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga dan Pemda Aceh Percepat Upaya Pemulihan Penyaluran BBM dan LPG
Menurut Pri Agung, yang membuat harga di Malaysia jauh lebih rendah adalah besarnya porsi subsidi per liter. Pemerintah Malaysia menyediakan subsidi lebih besar dibanding Indonesia, sehingga harga eceran bisa ditekan.
Sementara Indonesia menyeimbangkan dua hal: menjaga daya beli masyarakat, tetapi tetap mengarahkan konsumsi energi menuju efisiensi dan menghindari lonjakan biaya kompensasi.
Selanjutnya: Purbaya Ungkap Negara Rugi Rp 25 Triliun per Tahun Karena Skema Pajak Batubara
Menarik Dibaca: Penjualan Tiket KA untuk Masa Nataru Meningkat, Ini Rute Favorit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













