Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Uji Agung Santosa
Bisnis penerbangan berjadwal tahun ini bakal mendapat tantangan hebat. Kondisi rupiah yang masih saja terkapar membuat biaya operasional maskapai yang sebagian besar dari dollar AS masih bisa membengkak. Namun, pebisnis pesawat carteran lagi menuai berkah dari limpahan proyek minyak dan gas yang diprediksi tetap eksis di sepanjang tahun ini.
Mendung tampaknya masih menggelayuti industri penerbangan tanah air tahun ini. Jatuhnya nilai tukar rupiah membuat beban biaya operasional maskapai penerbangan yang sebagian besar berupa dollar AS masih membengkak. Padahal, harga minyak dunia lagi anjlok.
Dengan kondisi ini, Tengku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier (INACA) hanya berani memperkirakan pertumbuhan bisnis maskapai berjadwal sepanjang tahun ini berada di kisaran satu digit. Bila tahun kemarin asosiasi maskapai ini mematok angka 10%, kali ini cuma 6% sampai 8% saja.
Sudah begitu, era Open Sky di kawasan Asia Tenggara yang mulai diterapkan tahun ini dinilai tidak banyak membantu bisnis penerbangan domestik. Ia menilai, pemerintah memberlakukan maskapai domestik tidak adil. Yakni tetap menerapkan bea masuk untuk komponen impor pesawat. "Paling tidak seharusnya ada perlakuan yang sama. Maskapai domestik terkena bea masuk komponen pesawat 5% hingga 12%, dan maskapai asing justru tidak," paparnya.
Selain itu, porsi membuka lima bandara di Indonesia untuk menghadapi kebijakan open sky juga dianggap tidak sebanding dengan apa yang dilakukan negara tetangga di Asia Tenggara yang cuma membuka satu bandara hingga dua bandara saja.
Alih-alih mendatangkan wisatawan ke Indonesia, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu banyak orang Indonesia yang berplesiran ke luar negeri di kawasan Asia Tenggara.
Tak hanya sampai disitu, selain mempengaruhi biaya operasional yang dikeluarkan maskapai, rupiah yang masih saja kurang darah dikhawatirkan bisa berimbas pada hilangnya minat wisatawan untuk berlibur.
Menurut Arif Wibowo, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) depresiasi rupiah ini akan menjadi faktor kunci para pelancong untuk bepergian. "Kalau depresiasi cukup tinggi orang cenderung memilih menunda perjalanan," katanya.
Sebaliknya di tengah kondisi suram yang membayangi nasib penerbangan berjadwal di tanah air, bisnis penerbangan pesanan atau carter justru bisa mendapat angin segar tahun ini. Usaha angkutan lintas udara yang berbasis kontrak ini bakal lebih bersinar ketimbang usaha pengangkutan udara reguler.
Menurut hitungan Denon Prawiraatmadja, Ketua INACA bidang penerbangan carter, pihaknya telah memprediksi pertumbuhan bisnis di atas 20% tahun ini.
Rupanya dewi fortuna ini berasal dari hembusan angin segar di industri minyak dan gas di tanah air. Setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Beijing November tahun lalu, beberapa maskapai penerbangan carter juga turut menuai kontrak pengangkutan dalam bentuk dollar AS.
Denon yang menjabat Direktur Utama PT Whitesky Aviation mengaku mendapatkan dua kontrak berupa angkutan dua helikopter Bell 429 dan satu pesawat bersayap tetap atawa small fixed wings dan satu privat jet dari perusahaan China.
Dari kontrak ini, ia menaksir bisa meraup untung US$ 1,5 juta per tahun. "Untuk pengangkutan minyak dan gas selama bisa masuk standar mereka, pasti bisa," tandasnya.
Pemain lain, Bayu Sutanto, Managing Director PT Transnusa Aviation Mandiri juga antusias. Malah, perusahaan ini mengaku siap ikut tender kontrak angkutan carter dengan memakai
pesawat turbopop. Soalnya dalam waktu dekat bakal ada dua kontrak hingga tiga kontrak angkutan yang akan ditenderkan.
Tampaknya bisnis pesawat carteran bakal mengangkasa sepanjang 2015 ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News