Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) penomeran kartu telepon seluler dalam RUU Konvergensi dianggap tidak ada gunanya. Pasalnya, masih belum jelas hak yang diterima oleh operator setelah membayar biaya itu ke negara.
“Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dalam keterangan persnya Minggu (27/10).
Apalagi, lanjut Setyanto, operator sudah mendapat banyak pungutan diluar pajak yakni, BHP Jasa Telekomunikasi (Jastel) dan Universal Service Obligation (USO). Masing-masing ditetapkan 0,5% hingga 1,25% dari pendapatan kontor bisnis operator.
“Kebijakan ini sejak jaman Soesilo Soedarman (Menkominfo tahun 1988-1993), dan BHP Jasa Telekomunikasi itu termasuk sudah BHP penomoran,” ungkapnya. Ia juga menegaskan, tidak ada satupun negara didunia yang memungut biaya meskipun pemakaian nomor telepon seluler terus melonjak.Toh pertumbuhan pengguna telepon seluler di Tanah Air masih tergolong wajar.
Bahaya bagi industri
Menurutnya, penetapan BHP ini akan berpengaruh kepada harga jual nomor seluler ke pelanggan. Pembeli jadi enggan membeli dan bisnis telepon seluler dikemudian hari akan merosot. Padahal, saat ini industri telekomunikasi nasional masih bisa terus bertumbuh.
Oleh karena itu, Setyanto berharap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menghapus kewajiban ini pada draf RUU Konvergensi. Selain mempengaruhi bisnis, bisa jadi kebijakan ini akan membuat kualitas layanan operator merosot. “Pemerintah jelas salah, karena itu kami dari Mastel menolak tegas aturan ini karena tidak ada gunanya,” ungkapnya.
Sekedar informasi, DPR tengah membahas RUU Konvergensi sebagai pengganti UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Salah satu pasal adalah adanya kewajiban dari seluruh operator seluler untuk menerapkan BHP penomeran.
Sebelum sampai ke tangan DPR, RUU tersebut diinisasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2010. Pemerintah beranggapan, BHP penomeran perlu karena jumlah nomor digit kartu telepon pelanggan seluler adalah sumber daya terbatas.
Selain Mastel, semua operator seluler di Tanah Air menentang keras kebijakan ini. Pasalnya, BHP ini tidak adil karena tidak hanya diterapkan kepada nomor-nomor baru, tetapi juga ditambah yang sudah terpakai oleh pelanggan masing-masing. (Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News