Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi
Sementara itu, Peneliti Ekonomi Digital Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, berakhirnya rezim suku bunga acuan rendah sejak 2022 serta ketidakpastian global di atas kertas dapat berimbas pada tren merger dan akuisisi di Indonesia sepanjang 2023.
Sebab, tingkat suku bunga acuan yang tinggi akan membuat biaya akuisisi membengkak, apalagi jika korporasi yang terlibat memakai pendanaan berupa pinjaman.
"Modal untuk merger juga meningkat tatkala suku bunga acuan berada di level yang tinggi," kata dia, Kamis (26/10).
Agenda Pemilu serentak pada 2024 juga menjadi pertimbangan bagi para pelaku bisnis yang hendak melakukan aksi merger dan akuisisi. Apalagi, efek Pemilu sudah dirasakan para pengusaha sejak tahun ini.
Bukan tidak mungkin beberapa perusahaan akan cenderung wait and see dan melihat kondisi politik dalam beberapa waktu mendatang, termasuk menunggu arah kebijakan pemerintahan baru Indonesia setelah pemilu. Faktor seperti ini bisa mempengaruhi tren merger dan akuisisi di Tanah Air baik pada sisa tahun ini maupun tahun depan.
"Sektor yang masih mungkin sering terlibat dalam aksi merger dan akuisisi adalah sektor yang di-endorse oleh pemerintah," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News