kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45911,97   -11,52   -1.25%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Melirik Teknologi SCR Untuk Kurangi Emisi dan Polusi dari PLTU


Senin, 14 November 2022 / 15:48 WIB
Melirik Teknologi SCR Untuk Kurangi Emisi dan Polusi dari PLTU
ILUSTRASI. Selective Catalytic Reduction (SCR) menjadi teknologi yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU.


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia tengah gencar mempromosikan transisi energi terbarukan. Sejumlah pihak pun mencari teknologi yang tepat untuk mengurangi emisi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menilai teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) menjadi teknologi yang paling bisa diandalkan untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU.  Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung mengatakan, dari beberapa teknologi untuk mengurangi polusi udara, SCR diklaim menjadi yang terdepan. 

"SCR salah satu yang terkini, sebenarnya banyak. Nah, dia itu (SCR) fungsinya untuk mengurangi nitrogen oksida (NOx)," ujar Dwi dalam rilis. Dengan SCR, NOx akan tereduksi. Misalnya dari angka 100 ke atas, bisa turun hingga 50 ke bawah. 

Baca Juga: Pemerintah Siapkan US$ 500 Juta untuk Pensiunkan 2 GW PLTU dengan Skema ETM

Dari angka-angka tersebut, SCR mampu menurunkan angka NOx yang terbilang besar. Dwi menjelaskan, penerapan SCR pada PLTU saat ini memang sangat diperlukan. Ini karena polusi udara di bumi sudah tinggi.  Di negara maju, seperti Jerman, Amerika Serikat, China, dan Jepang teknologi SCR sudah sekian lama diterapkan. 

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, Mamit Setiawan menambahkan, penerapan teknologi SCR ataupun Carbon Caputure (CCUS), bagi banyak kalangan bukan dianggap sebagai green energy. Teknologi ini, pengembangan dari teknologi dalam rangka mengurangi gas karbon. 

"Tapi mengingat pensiun dini pembangkit itu butuh biaya besar, maka pemanfaatan teknologi yang bisa mengurangi karbon, saya kira bagus," kata Mamit. Apalagi pada tahun 2060 menuju NZE dimana energi fosil sebagai energi primer ini bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan energi terbarukan (EBT). 

Hanya saja, kekurangan dari teknologi ini adalah investasinya yang besar. Namun, jika dibandingkan dengan early retirement atau pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), teknologi ini masih jauh lebih lebiih murah.  

Mamit menyebutkan, teknologi SCR bisa diandalkan menuju green energy yang dicanangkan pemerintah.  Apalagi negara maju seperti Jerman, Amerika Serikat, China, dan Jepang teknologi SCR sudah menerapkan. 

Baca Juga: Upaya Menggalang Pendanaan US$ 30 Miliar di G20 untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Teknologi SCR di negara-negara maju untuk PLTU yang menggunakan batubara disandingkan dengan amonia.  Selective Catalytic Reduction adalah teknologi yang sudah terbukti untuk menurunkan nitrogen oksida dan nitrogen dioksida dengan mengkonversikan molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas.

Dengan menggunakan Selective Catalytic Reduction pada pembangkit tenaga uap batubara bersamaan dengan low Nox burner akan secara signifikan menurunkan kadar nitrogen oksida dan nitrogen dioksida. Karena itu akan membuka kemungkinan co-firing jauh lebih banyak amonia hijau dibandingkan batubara di dalam pembangkit tenaga uap batubara.
 
Potensi peningkatan emisi NOx dari hasil pembakaran amonia dapat diminimalisasi melalui teknologi SCR dan mampu mengurangi konsentrasi NOx dalam gas buang dari sekitar 1000 ppm menjadi kurang dari 10 ppm. Amonia pun merupakan bahan kimia alami yang ditemukan di udara, air, tumbuhan, dan hewan. 

Bahan kimia ini terdiri dari atom nitrogen dan hidrogen, dan prosesnya di alam terjadi secara alami melalui siklus nitrogen. Di sisi lain, amonia juga diproduksi sebagai bahan sintetis. 

Istilah green disematkan terhadap amonia yang menggunakan 100% bahan terbarukan dan bebas karbon. Salah satu cara membuat green amonia yang menggunakan hidrogen dari proses elektrolisis air dan nitrogen yang dipisahkan dari udara.

Selama ini, amonia memiliki peran penting terutama dalam industri pertanian untuk produksi pupuk. Di samping itu, amonia juga digunakan sebagai sumber energi untuk transportasi dan digunakan dalam produksi poliamida, asam nitrat, nilon, obat-obatan, bahan peledak, refrigeran, pewarna, cairan pembersih, dan bahan kimia industri lainnya.
 
Dilihat dari sisi deteksi kebauan, amonia memiliki kebauan khas sehingga dapat memberikan peringatan dini yang sangat berharga tentang potensi emisi yang dapat membahayakan dan fitur tersebut tidak ditemukan dalam hidrogen murni.

Baca Juga: Dukung Energi Hijau CNGR Tandatangani Kesepakatan dengan PLN

Terakhir, keunikan amonia sebagai bahan bakar tidak mengandung karbon. Hal ini berarti dalam pembakarannya tidak menghasilkan emisi karbon dioksida. Hal ini disebabkan satu-satunya produk samping dari amonia adalah air dan nitrogen.

Sayangnya, penggunaan amonia dalam sistem energi ternyata masih sangat terbatas. Sekitar 80% dari penggunaan amonia global masih terkait dengan industri pupuk dan hanya kurang dari 1% digunakan sebagai sumber energi.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×