kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mendukung NZE, Pertamina Terapkan Strategi Keberlanjutan Berbasis ESG


Senin, 15 Januari 2024 / 14:39 WIB
Mendukung NZE, Pertamina Terapkan Strategi Keberlanjutan Berbasis ESG
ILUSTRASI. Kontan - Pertamina Kilas Online


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - PT Pertamina (Persero) gencar melaksanakan sejumlah strategi untuk mengadang dampak perubahan iklim. Dekarbonisasi kegiatan bisnis dan pengembangan bisnis hijau baru menjadi ujung tombaknya. Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi terbesar dunia yang menghasilkan 602,6 juta ton karbon di 2021. Pemerintah pun tak lantas tinggal diam.

Presiden Joko Widodo dalam Forum COP 26 yang berlangsung pada 31 Oktober—12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, menyatakan komitmennya untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) Target pada tahun 2060. Selain itu Indonesia meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi 31,89% dengan upaya sendiri, dan 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030, yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).

Pertamina berkomitmen untuk mendukung target pemerintah Indonesia tersebut dengan meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi Perseroan dari yang sebelumnya 1% di 2021 menjadi 17% di 2030, serta peningkatan porsi gas dari 3% menjadi 19%. Target ini didukung oleh strategi investasi jangka panjang Perseroan pada tahun 2030 yang terdiri dari 14% anggaran investasi untuk gas dan EBT.

Baca Juga: Dukung Keberlanjutan, Generali Investasi ke Instrumen Berprinsip ESG

“Dukungan kuat kami terhadap NZE melibatkan transformasi cara kami menjalankan bisnis dan mengelola operasi perusahaan untuk memprioritaskan keberlanjutan,” ujar Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati.

Peta Jalan Net Zero

Sebagai salah satu acuan dan kerangka kerja dalam upaya menghadapi transisi energi serta perubahan iklim, Pertamina menyusun Peta Jalan Net Zero Emission (NZE Roadmap). Peta jalan ini dapat digunakan oleh stakeholder untuk melihat komitmen Pertamina dalam mencapai target NZE serta memenuhi aspek Environmental, Social, & Governance (ESG) perusahaan.

Adapun strategi inisiatif yang dimiliki Perseroan meliputi dekarbonisasi kegiatan bisnis dan pengembangan bisnis hijau baru. Kedua strategi inisiatif tersebut mencakup strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang yang diwujudkan dalam tiga agenda besar.

Pertama, mengubah operasional kilang menjadi green refinery serta pengembangan bioenergi. Kedua, pengembangan proyek zero carbon (carbon neutral) seperti proyek geothermal dan hydrogen. Dan ketiga, mengembangkan inisiatif carbon negative seperti proyek Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan Nature- Based Solution (NBS).

Serius dalam mengimplementasikan Peta Jalan NZE, Pertamina juga membentuk divisi khusus yakni Fungsi Sustainability. Divisi ini berperan aktif dalam monitoring program keberlanjutan di Pertamina Group, termasuk Subholding dan Anak Usaha lainnya.

Dekarbonisasi

Upaya dekarbonisasi dalam rangka implementasi roadmap NZE dimanifestasikan dalam beberapa inisiatif strategis diantaranya upaya efisiensi energi, loss reduction, elektrifikasi dan penggunaan low-carbon fuel maupun green-power generation serta optimalisasi carbon capture and storage.

Hingga akhir tahun 2022, Pertamina berhasil mencapai reduksi emisi GRK dari operasional perusahaan sebesar 7,9 juta Ton CO2e atau setara dengan 31,06%. Hanya kurang dari 1% lagi untuk mencapai target reduksi emisi GRK Perseroan sebesar 32% pada tahun 2030, dibandingkan dengan baseline emisi tahun 2010.

Untuk mendukung inisiatif dekarbonisasi, Pertamina berperan aktif mengembangkan ekosistem perdagangan karbon, salah satunya bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia (IDX) dan berpartisipasi dalam Bursa Karbon Indonesia. Pada peluncuran perdana Bursa Karbon IDX yang berlangsung 26 September 2023 lalu, Pertamina melalui subholdingnya Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) merupakan satu-satunya penjual yang bertransaksi di bursa karbon hari itu. PNRE akan menjadi agregator dalam bisnis karbon khususnya bagi Pertamina Group, serta untuk perusahaan dan BUMN lain pada umumnya.

Pertamina NRE memiliki kredit karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6, dengan volume sekitar 864 ribu tCO2e, yang dihasilkan selama periode 2016—2020. Kredit karbon ini telah memenuhi standar nasional yang ditetapkan oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Tak tanggung-tanggung, seluruh unit karbon yang ditawarkan Pertamina NRE di bursa karbon perdana langsung habis dibeli banyak perusahaan.

“Selain proyek kredit karbon dari PLTP yang dikelola anak usaha kami yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, dalam jangka menengah kami juga mengembangkan proyek-proyek nature & ecosystem-based solutions (NEBS), salah satunya melalui kerja sama 9 konsesi kehutanan dengan Perhutani,” ujar Dannif Danusaputro, Direktur Utama Pertamina NRE.

Pertamina juga terus mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS), salah satunya ditunjukkan dengan injeksi CO2 Lapangan Pertamina EP - Jatibarang, Jawa Barat serta di Lapangan Pertamina EP - Sukowati, Bojonegoro, Jawa Timur. Teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) yang memanfaatkan CO2 untuk huff and puff telah memberikan dampak positif pada reservoir.

“Teknologi CCUS merupakan sebuah teknologi yang mampu meningkatkan produksi minyak dan gas melalui CO2-EOR sekaligus mengurangi emisi GRK secara signifikan,” papar Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati.

Lebih lanjut, Nicke mengungkapkan bahwa proyek CCS/CCUS sangat strategis karena Indonesia memiliki potensi besar dalam penyimpanan karbon. Bahkan, Indonesia sangat potensial menjadi pusat CCS atau pusat penangkap dan penyimpan karbon di Asia Tenggara.  

Mewujudkan Kapasitas EBT

Dalam aspek EBT, Pertamina antara lain mengembangkan panas bumi, hidrogen, baterai kendaraan listrik dan Energy Storage System (ESS), gasifikasi, bioenergi, green refinery, circular carbon economy, serta penambahan kapasitas energi baru terbarukan lainnya. Dengan masifnya langkah Perseroan mengembangkan EBT, investasi berkelanjutan di sektor ini pada tahun 2022 meningkat 65% dibandingkan tahun 2021, yaitu mencapai US$ 63,19 juta.

Dari penggunaan EBT dalam operasional perusahaan, Pertamina berhasil mencapai efisiensi energi sebesar – 10,04 juta MWh pada 2022. Pengurangan konsumsi energi Pertamina tersebut sebagai hasil inisiatif konservasi dan efisiensi yang dijalankan oleh Subholding Pertamina. Efisiensi energi berasal dari efisiensi bahan bakar, listrik, pemanas, pendingin, dan uap.

Efisiensi energi akan terus digiatkan untuk mendorong transisi energi. Melalui subholding Pertamina NRE, diperkirakan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di internal Pertamina dapat mencapai 500 MW, secara bertahap. Salah satu program PLTS adalah instalasi di Wilayah Kerja (WK) Rokan sebesar 25 MW. Selain itu, PLTS juga gencar dipasang di SPBU Pertamina di seluruh Indonesia.

Untuk sektor panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) diproyeksikan bertambah jadi 1.128 MW pada 2026, dari 672 MW pada 2020.

Salah satu portofolio EBT lain yang tengah dikembangkan Pertamina adalah hidrogen bersih, melalui Subholding Pertamina NRE. Hidrogen yang lebih ramah lingkungan ini memiliki peran strategis dalam transisi energi. Hidrogen hijau dan biru dapat menjadi solusi pengganti bahan bakar fosil bagi industri yang sulit melakukan dekarbonisasi terhadap produk ataupun proses produksinya (hard-to-abate industry) seperti kilang minyak, industri baja, industri berat lainnya, serta transportasi berat.

Pada 18 Oktober 2022, Pertamina NRE dan Tokyo Electric Power Company Holdings, Incorporated (TEPCO HD) menandatangani perjanjian studi bersama untuk pengembangan hidrogen dan amonia hijau di area panas bumi Lahendong, Sulawesi Utara. Prastudi kelayakan proyek yang dilaksanakan pada September 2023 telah lolos proses seleksi yang dilakukan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang, untuk mendapatkan hibah dalam studi pengembangan proyek tersebut.

Setelah lolos seleksi prastudi, studi kelayakan akan dilakukan oleh TEPCO HD dan Yamanashi Hydrogen Company, Incorporated (YHC). Dalam jangka pendek, produk hidrogen dan amonia hijau diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan dalam jangka panjang untuk pasar ekspor.

Saat ini Perseroan juga sedang mengembangkan ekosistem kendaraan berbasis hidrogen. Pada tahap awal, Pertamina menggunakan grey hydogen, namun di tahap berikutnya akan dicoba menggunakan hidrogen hijau dan biru yang saat ini tengah dikembangkan di salah satu area panas bumi Pertamina di Sumatera. Pemanfaatan hidrogen untuk transportasi ini masuk dalam salah satu inisiatif bisnis hijau Pertamina dan rencana alokasi belanja modal ke depannya.

“Ke depan kita akan siapkan hydrogen refueling station yang nanti bisa dipakai mobil dengan basis hidrogen di fasilitas eksisting Pertamina, sebagai bukti komitmen optimalisasi infrastruktur Pertamina untuk akselerasi transisi energi,” kata Dannif.

Selain hidrogen bersih, green refinery atau kilang ramah lingkungan menjadi bagian dari inisiatif Perseroan mencapai target bauran EBT nasional tahun 2025. Untuk ini, Pertamina telah memulai metode co-processing atau pengolahan bahan bakar dengan penggabungan bahan baku minyak fosil dan bahan baku minyak nabati, menggunakan katalis berteknologi tinggi. Katalis ini merupakan inovasi Pertamina bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Bahan baku yang diolah di kilang hijau Pertamina antara lain minyak kelapa sawit yang telah diolah dan dibersihkan getah serta baunya atau dikenal dengan nama Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) dan ke depan dapat juga dikembangkan untuk mengolah minyak jelantah/Used Cooking Oil (UCO) menjadi biofuels. Green refinery Pertamina yang telah beroperasi antara lain Green Refinery Cilacap yang mampu memproduksi HVO (Hydrotreated Vegetable Oil), Green Gasoline, dan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau BioAvtur J2.4, Green Refinery Dumai dengan produksi HVO dan Green Diesel, serta Green Refinery Plaju yang dapat memproduksi Green Gasoline.

Ragam Produk Ramah Lingkungan dari Pertamina

PERTAMINA terus berinovasi menghasilkan produk-produk energi sesuai kebutuhan konsumen. Diversifikasi produk juga dilakukan sebagai bagian dari salah satu upaya perusahaan menjalankan amanat negara untuk menjaga ketahanan energi nasional.

Sebagai perusahaan energi yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, aspek ramah lingkungan menjadi salah satu fokus utama Pertamina dalam inovasi produk. Di bidang hulu, riset pengembangan panas bumi terus digalakkan sebagai upaya mendapatkan alternatif energi bersih.

Di bidang hilir, Perseroan mengembangkan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) sebagai komponen campuran 40% bahan bakar nabati, methanol dan ethanol sebagai komponen produk gasoline methanol ethanol (GME), serta formulasi katalis untuk memproduksi biofuel terkait. Untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan dari produk BBM eksisting, Pertamina menggantinya dengan bahan bakar dengan RON yang lebih tinggi.

Sejumlah produk ramah lingkungan dari Pertamina antara lain Musicool MC-22, refrigeran hidrokarbon yang dapat dipakai menggantikan refrigeran sintetik jenis R-22. Musicool dapat digunakan sebagai bahan pendingin pada AC split, chiller, lemari pendingin, cold storage, dan lain-lain. Selain dipasarkan ke publik, Perseroan juga menggunakan Musicool dalam kegiatan operasionalnya sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Produk ramah lingkungan lainnya adalah Green Gasoline Pertamax Green 95, yang secara resmi dikenalkan ke masyarakat pada 24 Juli 2023. Bahan bakar kendaraan (BBK) ramah lingkungan ini menggunakan bahan baku terbarukan yaitu Bioetanol sebanyak 5%. Bioetanol tersebut berasal dari molase tebu yang diproses menjadi etanol fuel grade.

Pertamina juga sukses mengembangkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau BioAvtur sebagai bahan bakar pesawat terbang. Perjalanan pengembangan Pertamina SAF telah diinisiasi sejak tahun 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, yang kemudian dikembangkan Kilang Pertamina Internasional di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO). Setelah melalui serangkaian uji coba pada mesin dan unit pesawat, pada 27 Oktober 2023, Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan uji terbang SAF pada penerbangan komersil dengan rute dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta) dan kembali lagi ke  Bandara Soekarno - Hatta..

Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional.

“Keberhasilan Pertamina memproduksi SAF menjadi yang pertama di Regional Asia Tenggara. Pertamina SAF diproyeksikan menjadi produk ramah lingkungan yang dapat segera dipasarkan kepada pelaku bisnis penerbangan sekaligus sebagai bukti konsistensi Pertamina dalam pengembangan green energy di Indonesia dan berkontribusi pada program dekarbonisasi,” ujar Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×