Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Booming properti tampaknya mulai meredup. Alih-alih menggeliat, pertumbuhan penjualan dan harga properti residensial tahun ini diperkirakan bakal melambat. Jadi, tak seperti sektor lain yang ketiban rezeki, tahun pemilu tak jadi tahun penuh berkat bagi sektor properti.
Ibarat melaju di jalan berliku, banyak hambatan yang menghadang sektor properti. Hambatan pertama datang dari Bank Indonesia (BI) yang merilis kebijakan loan to value (LTV) untuk kredit properti. Oktober tahun lalu, BI memperketat aturan penyaluran untuk kredit rumah kedua dan ketiga. Alhasil, pembeli harus menyiapkan dana lebih besar saat ingin mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR). Tak cuma itu, BI juga melarang penyaluran KPR kedua dan seterusnya untuk rumah berstatus inden.
Arief Rahardjo, Senior Associate Director Research Cushman & Wakefi eld, mengatakan kebijakan BI akan berpengaruh pada suplai maupun permintaan rumah. Di satu sisi, pasokan rumah akan melambat karena dana KPR baru bisa cair setelah proses pembangunan rumah mencapai 80%. Alhasil, pengembang harus memiliki kemampuan dana cukup kuat sejak awal proyek berjalan.
Pada sisi lain, permintaan rumah juga akan melambat. Lantaran harus menyisihkan uang muka lebih besar, minat pembeli dan investor properti akan berkurang. Meski begitu, Arief mengatakan, rumah tetap menjadi kebutuhan utama. Sehingga, konsumen tetap akan membeli rumah meski harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan mereka.
Panangian Simanungkalit, pengamat properti, mengatakan pengetatan LTV bakal berdampak pada penyaluran KPR. Tahun lalu, penyaluran KPR masih tumbuh di kisaran 30%. Panangian memperkirakan, pertumbuhan KPR tahun ini hanya berkisar 15%. Begitu pula, pertumbuhan penjualan rumah akan melambat menjadi 15%. Di sisi lain, kebijakan LTV akan mendorong investor perumahan segmen 70 m² ke atas berpindah haluan.
Mereka akan menyasar rumah dengan harga di bawah Rp 1 miliar. Jadinya, penjualan rumah dengan harga antara Rp 250 juta–Rp 750 juta akan mendominasi pasar properti tahun ini. Sementara, pasar perumahan segmen menengah atas menurun hingga 25% ketimbang tahun lalu.
Ironisnya, meski rumah segmen menengah jadi primadona tahun ini, jangan lupa, konsumen segmen menengah ke bawah rentan terhadap perubahan suku bunga KPR. Padahal, sejak BI menaikkan suku bunga acuan alias BI rate hingga 1,75% mulai pertengahan tahun lalu, perbankan ikut-ikutan mengerek suku bunga KPR. Pertengahan tahun lalu, suku bunga dasar kredit (SBDK) KPR perbankan berada berkisar 8%–11%. Awal tahun ini,SBDK KPR beberapa bank sudah mencapai 10%–13%.
Hasan Pamudji, Senior Manager Research Knight Frank, menilai kelas menengah ke bawah sangat bergantung pada daya beli. Kenaikan suku bunga KPR jelas menjadi beban berat bagi konsumen. Tak heran, ada orang memilih menunda pembelian rumah hingga suku bunga KPR melandai.
Waktunya beli
Sebagian konsumen memang lebih memilih wait and see. Begitu pula investor. Apalagi, tahun ini Indonesia akan menggelar hajatan Pemilu. Konsumen dan investor memilih menunggu pemilu selesai. “Setelah pemilu mungkin ekonomi cenderung stabil dan suku bunga turun. Semua masih menunggu,” kata Hasan.
Tak cuma konsumen maupun investor, pengembang juga pilih menanti pemilu usai. Erwin Karya, Associate Director Ray White Projects & Commercial, mengatakan, pengembang baru akan agresif membangun perumahan setelah pemilu. Kalau pemilu berjalan lancar, sektor properti akan kembali menggeliat. Kalau situasi ekonomi pasca pemilu bertambah berat, Hasan memperkirakan, sektor properti justru akan memburuk.
Arif memperkirakan, harga rumah tahun ini masih bakal naik lantaran kenaikan biaya konstruksi yang cukup tinggi. Meski begitu, kenaikan harga rumah yang terjadi tak akan setinggi tahun lalu. Menurutnya, rata-rata pertumbuhan harga rumah di Jabodetabek hanya pada kisaran 18%. Tahun lalu, harga rumah rata-rata naik 25%. Hasan memperkirakan, kenaikan harga rumah di kota besar di luar Jabodetabek berada adalah antara 10%–15%.
Kenaikan harga rumah yang melambat sepintas bikin investasi properti tak lagi menarik lantaran imbal hasil yang diberikan tak sebesar tahun sebelumnya. Belum lagi, biaya membeli rumah juga lebih besar karena suku bunga kredit yang lebih mahal. Boleh jadi, wait and see memang menjadi langkah tepat. Namun, menurut Panangian, kenaikan harga rumah yang lesu seharusnya justru momen tepat bagi investor ataupun konsumen untuk membeli rumah. Sebab, saat permintaan rumah kembali membaik, harga rumah akan meroket sehingga akan menguntungkan investor dan konsumen.
Menurut Panangian, suku bunga yang tinggi bukan persoalan untuk beli rumah. Sebab, suku bunga kredit di Indonesia fluktuatif dan biasanya bakal melandai. Sementara, tabiat harga properti di Indonesia sulit turun lantaran posisi pengembang lebih kuat dibanding konsumen. Selain itu, konsumen bisa memindahkan KPR ke bank lain yang berani menawarkan suku bunga lebih rendah saat BI rate turun. “Saat ini waktu yang tepat untuk berutang sebanyak-banyaknya, demi membeli properti,” saran Panangian.
Anton Sitorus, Head of Research Jones Lang LaSalle, mengamini, sekarang merupakan momen tepat bagi investor dan konsumen untuk membeli rumah. “Bagi risk taker, ini waktu beli sebelum harga melambung lagi,” katanya.
Jadi, Anda masuk aliran mana? Ambil risiko atau pilih menunggu?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 22 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News