Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Hasil studi yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan penutupan lebih cepat PLTU batubara yang secara bersamaan digantikan dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi.
Studi pemodelan dengan skenario tersebut pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya, hasilkan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp 82,6 triliun.
PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu sendiri masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan dipensiunkan pada tahun 2035 dan 2037.
Baca Juga: Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Sedang Disusun
Studi ini merupakan studi lanjutan dari laporan yang diluncurkan CERAH dan CELIOS pada Juli 2023. Upaya mempercepat pensiun dini PLTU batu bara seringkali terhambat oleh kekhawatiran dampak negatif ekonomi yang mempengaruhi tenaga kerja, masyarakat lokal hingga hilangnya pendapatan sebagian pelaku usaha
Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur CELIOS, mengatakan dampak ekonomi dari penutupan PLTU batu bara sangat bergantung dari upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen mempercepat pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti PLTU.
“Studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa skenario penutupan PLTU batu bara di tiga lokasi pembangkit bisa menurunkan PDB sebesar Rp3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang,” ujarnya di Jakarta, Kamis (25/1).
Sementara skenario ke-2 di mana penutupan PLTU batu bara dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan justru mampu menyumbang ekonomi Rp 82,6 triliun, menyerap 639 ribu tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional.
Berdasarkan rekomendasi studi, CELIOS mendesak negara maju yang terlibat dalam JETP, pemerintah hingga lembaga pembiayaan untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam pipeline pensiun dini, sekaligus mempercepat pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan secara paralel.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono mengungkapkan, temuan riset menjadi penting karena menunjukan bahwa dalam agenda transisi energi, pensiun dini PLTU penting dilakukan untuk mencapai ambisi iklim.
Namun, langkah itu tidak cukup, agar memiliki dampak ekonomi yang signifikan maka kebijakan berdasarkan hasil kajian ini harus dibarengi dengan akselerasi pembangunan energi terbarukan.
Baca Juga: Penerapan Teknologi Co-Firing dari PLN Dinilai Bisa Tekan Emisi Karbon
“Jadi antara pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel, agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi, penting untuk melihat ini secara utuh. Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat signifikan karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu,” kata Agung.
Untuk memastikan transisi berjalan secara soft-landing, maka beberapa kebijakan perlu dipersiapkan. Peran pemerintah daerah juga menjadi krusial dalam proses ini.
Peneliti CELIOS, Muhamad Saleh menjelaskan bahwa terdapat kerangka transisi energi yang berkeadilan di Indonesia merupakan persoalan yang rumit dan rentan untuk mengalami kegagalan karena Pemerintah Pusat, PLN dan Sekretariat JETP sampai hari ini belum memiliki kerangka kerja yang seragam dan komprehensif sebagai acuan untuk melakukan transisi energi.
“Hal ini disebabkan karena, program JETP masih pada level kebijakan yang tidak memiliki basis hukum yang kuat, termasuk penyebutan dokumen CIPP sebagai living document yang sewaktu-waktu bisa berubah,” ujarnya.
Kemudian penentuan waktu yang tidak spesifik untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU. Lalu kriteria untuk mempercepat pengakhiran operasi PLTU tidak bebas dari konflik kepentingan. Situasi benturan kepentingan menjadi sangat nyata saat PLN harus mengakhiri pengoperasian PLTU yang dimilikinya sendiri atau PLTU swasta (Independent Power Producer/IPP).
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang mengatakan skema pensiun dini PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu sama sekali tidak mencerminkan asas keadilan.
Baca Juga: Mewujudkan ESG dan Green Energy di Indonesia Harus dengan Kolaborasi
“Pihak ADB belum mensosialisasikan program ETM untuk kepada warga yang terdampak, bahkan tidak menjelaskan bagaimana warga dapat dilibatkan pada kegiatan konsultasi agar aspirasi mereka dapat diakomodir dengan baik,” jelasnya.
Menurutnya hal ini tidak mengedepankan nilai dan prinsip partisipasi publik yang adil.
Selain itu, WALHI juga melihat indikasi bahwa skema pensiun dini ini hanya akan memperpanjang umur PLTU batu bara karena di dalam kontrak terdapat istilah repurposing, yang memungkinkan adanya praktik co-firing pada PLTU.
Hal ini sudah terlihat di PLTU Pelabuhan Ratu yang sudah menjalankan uji coba pelaksanaan co-firing biomassa yang sudah berdampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News