Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Agar mewujudkan masa depan bisnis yang lebih baik para pelaku bisnis harus memperhatikan environment, social, governance (ESG). Kolaborasi dari para pemangku kepentingan menjadi kata kunci yang harus terus didorong dalam mewujudkan ESG dan green energy.
Kolaborasi dari para pemangku kepentingan menjadi kata kunci yang harus terus didorong dalam mewujudkan ESG dan green energy. Anggota Dewan Energi Nasional dan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Tumiran mengungkapkan, perubahan energi konvensional ke energi baru dan terbarukan (EBT) tidak akan jalan jika ekonominya tidak tumbuh dan di saat yang sama sektor energinya harus bertumbuh.
“Sektor listrik juga tidak akan tumbuh kalau ekonomi tidak tumbuh. Kalau listrik tidak tumbuh, sektor lain juga tidak tumbuh," kata Tumiran, dalam seminar yang diadakan Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (Pertaabi), Senin (23/1).
Konsumsi energi Indonesia masih rendah, rata-rata per kapita hanya menghabiskan Rp 150.000 per bulan. Maka, target pemerintah mewujudkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL) dengan target porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025 sulit terwujud. "Sektor industri menjadi penggerak untuk ekonomi kita supaya tumbuh, agar konsumsi listrik terdorong bertumbuh,” terangnya.
Pengurus Kadin Pusat dan Presdir Clean Power Indonesia, Jaya Wahono berharap dalam pengembangan EBT, semua harus merasakan efek bertumbuh, seluruh wilayah, bukan saja di Pulau Jawa. “Kami berpartisipasi dalam meningkatkan pemahaman, terutama meningkatkan kesadaran bahwa perubahan iklim yang berpengaruh pada bisnis ke depan. Jangan sampai kepedulian kita tidak memberikan bukti nyata,” tandasnya.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Anggota MIND ID yang Menyabet Penghargaan ESG Proper Emas
Target EBT 23% kita masih jauh untuk dicapai di 2025. "Tidak bisa hanya sebatas protes saja, harusnya kita mengambil langkah lebih bergegas untuk berubah. Tidak bisa lagi bergantung pada energi fosil saja, dengan mendorong EBT,” tegas Jaya.
Edi Wibowo, Direktur Bioenergi - Ditjen EBTKE Kementerian ESDM menyoroti ketergantungan terhadap impor, mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan kemungkinan krisis energi. "Pengelolaan energi berdahadapan denganTrilema Energi (tiga dilema energi) di negeri ini,” kata Edi.
Trilema Energi itu, pertama, ketahanan energi, tantangan kita adalah dalam upaya penyediaan energi dengan memperhatikan rantai pasok sumber dalam dan luar negeri serta permintaan yang terus meningkat.
Kedua, ekuitas energi, kita menghadapi tantangan dalam penyediaan akses dan terjangkaunya energi untuk semua orang. Ketiga, Keberlanjutan Lingkungan, artinya pembangunan infrastruktur berbasis energi terbarukan dan sumber energi rendah karbon lainnya serta peningkatan efisiensi energi baik dari sisi supply maupun demand.
Edi mengungkapkan sebenarnya biaya investasi untuk pembangunan pembangkit listrik EBT, khususnya PLTS dan PLTB (termasuk biaya integrasi) lebih murah dan dapat bersaing dengan PLTU 800MW yang sudah ada. Biaya O&M (operation & maintenance) pembangkit listrik EBT juga relatif rendah. Pengurangan pajak dan retribusi penggunaan sumber daya alam dapat menjadi insentif alternatif untuk harga listrik EBT yang lebih kompetitif.
Roadmap pengembangan kendaraan listrik di Indonesia hingga Juni 2023 mencapai 72.000 unit kendaraan listrik. Dengan rincian 17.000 kendaraan roda empat dan 80.000 kendaraan roda dua. Dari sini, kita bisa menghemat energi 29,79 TWh dan penurunan emisi sebesar 7,23 juta ton CO2.
“Pencapaian ini diharapkan sesuai target roadmap EV di 2030 untuk kendaraan roda dua 13 juta dan roda empat 2 juta unit. Kementerian ESDM telah menginisiasi program konversi sepeda motor ICE menjadi sepeda motor listrik untuk mendorong pasar, lalu pemerintah memberikan insentif konversi sebesar Rp 7 juta- Rp 10 juta unit serta memperkuat kapasitas bengkel lokal,” kata Edi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News