Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa (UE) telah memberlakukan undang-undang (UU) baru soal deforestasi. Beleid ini bernama EU Deforestation Regulation (EUDR).
Sejumlah komoditas yang akan terpengaruh salah satunya adalah sawit. Ekspor sawit ke Eropa terancam terhambat karena adanya EUDR yang diberlakukan di Uni Eropa.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, saat ini EUDR belum diimplementasikan. Rencananya baru akan berlaku pada Januari 2025.
Baca Juga: Bertemu PM Norwegia, Presiden Jokowi Bahas Deforestasi hingga Investasi di IKN
"Gapki bersama pemerintah terus memperjuangkan agar implementasinya nanti tidak memberatkan [pengusaha sawit] termasuk melakukan joint mission dengan Malaysia. Saat ini belum ada dampak karena belum di implementasikan," kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (11/12).
Ia menuturkan, ekspor sawit ke Uni Eropa tahun 2022 sebesar 4.1 jt ton sampai dengan Oktober 2023 sebesar 3.7 jt ton.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menjelaskan, aturan EUDR adalah deforestasi 2020 ke atas. sementara sawit yang di tanam 2020 ke atas belum panen (baru umur 2-3 tahun).
Baca Juga: Ada UU Anti Deforestasi, Pemerintah Pastikan Sawit, Kopi, Kakao Bisa Akses Pasar UE
Ia menjelaskan, EUDR hanya mempermasalahkan penggunaan CPO untuk sumber energi (biodisel dan sejenis), sementara produksi FAME dalam negeri hampir semua terserap untuk mandatori B35.
"Jadi untuk dalam negeri saja kita masih pas-pasan," ujar Gulat saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (11/12).
Gulat menambahkan, EUDR adalah politik dagang bukan karena alasan deforestasi oleh karena itu Indonesia khususnya harus melawan dengan politik dagang juga. Saat ini diplomasi yang sudah dibentuk Indonesia-Malaysia.
Adapun, Gulat bilang produksi CPO Indonesia 2023 dan 2024 diprediksi turun akibat berbagai hal di saat kebutuhan dalam negeri semakin meningkat.
"Jadi menurut saya kita sering lupa bahwa Indonesia adalah pengonsumsi CPO terbesar dunia. Jadi dioptimalkan saja serapan secara domestik," tutur Gulat.
Baca Juga: Mengembangkan Bisnis Sawit Berkelanjutan
Gulat menambahkan, semakin Indonesia ketakutan maka semakin berhasil EUDR, karena EUDR adalah tekanan dan akibat tekanan ini mereka berharap Indonesia mengalah untuk beberapa kebijakan dan tentu itu semua butuh biaya untuk sertifikasi EUDR.
Dari sisi pelaku suaha, Head of Investor Relation PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) Stefanus Darmagiri menerangkan, dengan adanya EUDR, produk CPO nasional yang akan di ekspor ke Eropa membutuhkan tambahan persyaratan dan kriteria-kriteria tertentu untuk dapat memasuki pasar Eropa.
Sampoerna Agro tunduk dan patuh dengan seluruh peraturan perundangan yang berlaku dan Sampoerna Agro terus berkomitmen dalam melaksanakan kebijakan keberlanjutan yang salah satunya mencakup kebijakan No Deforestation.
"Akan tetapi, pada saat ini, kami hanya melakukan penjualan crude palm oil (CPO) untuk pasar domestik, sehingga dengan adanya EUDR tidak berdampak langsung terhadap penjualan CPO kami," ujar Stefanus kepada Kontan.co.id, Senin (11/12).
Baca Juga: Gapki Ramal Harga Minyak Sawit Bakal Naik pada Tahun 2024, Ini Penyebabnya
Dampak adanya EUDR, kata Stefanus, salah satunya dapat diantisipasi oleh industri kelapa sawit nasional adalah dengan meningkatkan permintaan CPO untuk pasar domestik, seperti dengan implementasi penuh dari program B35 yang telah berjalan sejak Agustus 2023 ini.
Di samping itu dampak pembatasan ekspor CPO ke negara-negara Eropa dapat diantisipasi oleh industri kelapa sawit dengan mencari potensi pasar-pasar yang baru, seperti Afrika dan Timur Tengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News