Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) turut berpartisipasi dalam implementasi program energi hijau yang dicanangkan pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan Pertamina adalah pengembangan green diesel atau yang dikenal dengan D100.
Pjs. VP Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari menyatakan, Pertamina sudah melaksanakan uji coba produksi D100 sebanyak 1.000 barel di Kilang Dumai. Selanjutnya, Pertamina terus melakukan persiapan dalam rangka uji coba produksi Green Diesel, Green Avtur, dan Green Gasoline di Kilang Cilacap yang diharapkan pelaksanaannya sesuai jadwal di akhir tahun 2020.
Hanya memang, Pertamina sejauh ini belum membeberkan lebih jauh soal rencana produksi masal D100. Sebab, perusahaan migas pelat merah ini masih perlu melakukan kajian mendalam terkait harga keekonomian D100. “Hal ini supaya harga jual di tingkat konsumen ritel menjadi lebih terjangkau,” ujar Heppy, Rabu (18/11).
Ia menambahkan, pada dasarnya produksi Green Diesel, Green Avtur, maupun Green Gasoline merupakan upaya Pertamina dalam pengembangan energi ramah lingkungan yang memanfaatkan sumber daya yang melimpah di Indonesia. Upaya ini juga sejalan dengan rencana pemerintah yang hendak meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) menjadi 23% di tahun 2025.
Baca Juga: Pengembangan kendaraan listrik harus sejalan dengan ketersediaan listrik berbasis EBT
Dengan memproduksi bahan bakar berbasis sumber daya domestik, Pertamina dapat memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun serta dapat mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga memperkuat cadangan devisa negara.
Untuk memastikan rencana produksi Green Energy tersebut, saat ini Pertamina sedang melaksanakan proyek Standalone Biorefinery di 3 lokasi, yakni Cilacap, Plaju, dan Dumai.
Rencananya, Standalone Biorefinery Cilacap Tahap I akan rampung pada tahun 2021 dan dapat memproduksi Green Energy 3.000 barel per hari. Kemudian berlanjut pada Standalone Biorefinery Cilacap Tahap II yang selesai tahun 2022 dengan kapasitas 6.000 barel per hari.
“Sementara untuk Standalone Biorefinery Plaju ditargetkan selesai pada 2023 dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari,” jelas Heppy.
Pertamina berharap upaya pengembangan Green Energy berbasis kelapa sawit dapat berjalan lancar agar dapat mendukung target pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Adapun tantangan dalam program tersebut yakni berkaitan dengan harga keekonomian di tingkat konsumen serta ketersediaan dan harga bahan baku minyak kelapa sawit yang bergantung pada harga di pasar internasional.
Baca Juga: Begini komentar asosiasi PLTA terkait rancangan Perpres harga pembelian listrik EBT
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, tantangan terbesar program D100 saat ini adalah harga produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang jauh di atas harga BBM.
“Perlu dicari cara agar biaya produksi D100 dapat turun lebih cepat dan bisa berlanjut tanpa harus disubsidi dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujar dia, hari ini.
Tantangan lainnya adalah parameter keberlanjutan atau sustainability dan low carbon footprint dari produk biodiesel itu sendiri. Menurutnya, jika net carbon dari produk biodiesel tidak lebih rendah dari BBM, maka Indonesia tidak bisa mendapat manfaat dari penurunan emisi gas rumah kaca. Padahal, dalam konteks mitigasi perubahan iklim, penurunan emisi tersebut justru merupakan manfaat lingkungan yang penting dari penggunaan biofuel.
Selanjutnya: Luhut sebut sejumlah kontrak diteken dalam mengembangkan baterai untuk mobil listrik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News