kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik pro-kontra wajib SNI bagi pelumas


Selasa, 05 Maret 2019 / 13:34 WIB
Menilik pro-kontra wajib SNI bagi pelumas


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagi produsen pelumas alias oli, label Standar Nasional Indonesia (SNI) sudah sangat mendesak dibutuhkan bagi produk-produk oli di Indonesia. Terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standard Nasional Indonesia Pelumas Secara Wajib dan rencana wajib SNI di September 2019, oleh karenanya diapresiasi positif bagi produsen.

Andria Nusa, Ketua Asosiasi Pelumas Indonesia (Aspelindo) menyebutkan keberadaan SNI tak lain demi melindungi konsumen dari kebanyakan produk-produk impor palsu yang beredar. "Pelumas palsu, yang digunakan industri misalnya bisa mengakibatkan rugi hingga triliunan, akibat pelumas tersebut tidak sesuai mutunya," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Selasa (5/2).

Dari sisi industri, menurut Andria, produsen menganggap keberadaan SNI memberikan dampak positif agar tercipta persaingan usaha yang sehat. Sebab tak jarang, katanya, pelumas impor abal-abal dijual dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang yang diproduksi pabrikan di dalam negeri.

Belum lagi dari segi investasi, produsen merasa sudah cukup serius dalam menanamkan modalnya di tanah air. "Misalnya seperti Shell bikin pabrik oli hingga Rp 2 triliun, Pertamina juga investasi hingga triliunan belum lagi pekerja banyak diserap pabrik," kata Andria.

Terkait seberapa besar penguasaan pelumas impor di pasar tanah air, Aspelindo mengaku data yang tepat sulit didapat. Namun Andria memperkirakan penggunaannya sekitar 15% dari konsumsi pelumas nasional.

Sebelumnya beredar pandangan bahwa peraturan Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) sudah lebih dari cukup, sehingga tak diperlukan lagi SNI. Menanggapi hal tersebut, Andria mengungkapkan bahwa NPT tidak punya kekuatan hukum yang kuat, berbeda dengan SNI yang dilindungi undang-undang dan diawasi Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Sementara itu Paul Toar, Ketua Umum Perhimpunan Distributor, Importir dan Produsen Pelumas Indonesia (Perdippi) menganggap kebijakan wajib SNI ini hanya bisa dikeluarkan oleh pihak yang sama sekali tidak mengerti dunia pelumas.

Menurutnya, biaya uji pelumas kalau konsisten dengan persyaratan SNI bisa mencapai kisaran Rp 10 miliar - Rp 20 milliar tiap item, karena yang harus diuji adalah aspek kecocokan spesifikasi fisika dan kimia serta kemampuan unjuk kerja. "Kami tahu bahwa ini adalah hasil perjuangan lobi perusahaan pelumas dengan pangsa pasar terbesar," sebut Paul kepada Kontan.co.id, Selasa (5/2).

Perdippi menilai beberapa lembaga akreditasi untuk meraih SNI masih dipertanyakan. "Ada LSPro yang mendapatkan akreditasi tapi tidak memiliki perlengkapan dan kemampuan untuk menguji produk pelumas terhadap seluruh persyaratan SNI Pelumas. Ada kemungkinan ada kekurangan atau ketidaktelitian atau ketidakpedulian dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Akreditasi itu adalah semacam ijazah yang seharusnya diberikan dengan rasa tanggung jawab besar," tutur Paul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×