Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program investasi hijau (green investment) di wilayah Papua dan Papua Barat dengan mengembangkan empat komoditas unggulan, yaitu kakao, kopi, pala, serta rumput laut menarik perhatian banyak pihak. Investasi yang mengedepankan komitmen ramah lingkungan ini membuka peluang lebar tak hanya bagi pengusaha, tetapi juga bagi para petaninya.
Direktur PT Olam Indonesia Vijay Karunakaran mengungkapkan, pihaknya akan mendukung program apapun yang dapat meningkatkan produksi cokelat di Indonesia, termasuk program investasi hijau ini.
Meskipun akan memakan biaya investasi serta menghadapi risiko yang lebih besar apabila dibandingkan dengan bisnis seperti biasanya (business as usual), tetapi bentuk investasi ini tidak akan merusak lingkungan dan secara tidak langsung akan membantu memberdayakan para petani lokal.
Baca Juga: Perusahaan kosmetik masih temui sederet tantangan investasi hijau di Indonesia
"Investasi hijau merupakan salah satu bentuk nyata dalam menjaga hutan dan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui komoditas kakao. Ini sejalan dengan fokus kegiatan Cocoa Compass Olam yang bertujuan mendukung peningkatan pendapatan petani dengan tetap menjaga kelestarian alam," ujar Vijay di Sorong, Kamis (27/2).
Namun, untuk saat ini Vijay belum dapat menakar nilai yang akan diinvestasikan di dalam investasi hijau ini. Pasalnya, pihaknya masih ingin melihat lebih jauh seberapa banyak petani yang ada di Papua dan Papua Barat, serta strategi apa saya yang dapat dilakukan untuk membantu petani ini.
Lebih lanjut, ia menyampaikan berbagai bentuk komitmen yang telah dijalankan untuk Indonesia. Di antaranya Olam telah menggelontorkan investasi sebanyak US$ 90 juta di berbagai pabrik. Dalam waktu dekat, Olam juga berencana untuk melakukan investasi dengan nilai hampir mencapai US$ 30 juta di perkebunan cokelat yang berada di Pulau Seram.
"Pabrik kami di Indonesia kapasitasnya 150.000 ton, sedangkan produksi di Indonesia mungkin 200.000 ton, apalagi ada pemain selain kami. Jadi tidak cukup kakao Indonesia untuk Olam, maka kita tetap impor untuk jalankan pabrik. Jadi, apa pun program di Indonesia yang dapat meningkatkan produksi di Indonesia, termasuk investasi di Papua, akan kami dukung," jelas Vijay.
Terkait dengan strategi Cocoa Compass, Head of Sustainable Cocoa Indonesia Imam Suharto menyampaikan jika strategi ini memiliki empat objetif khusus di dalamnya.
Pertama, peningkatan produktivitas dengan meningkatkan pemasukan bagi para petani. Olam akan meningkatkan produktivitas kakao dan pendapatan keluarga petani dengan sistem pertanian berkelanjutan.
Kedua, zero deforestation, artinya pihak Olam ingin melakukan investasi pada sektor alam untuk menumbuhkan pertanian yang terintegrasi. Hal ini dijalankan dengan komitmen tidak akan melakukan transaksi bisnis yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan deforestasi.
"Kita tidak akan membeli satu biji pun dari petani yang menanam kakao di hutan atau yang menyebabkan kerusakan lingkungan," imbuhnya.
Ketiga, no callable jadi petani harus dapat pelatihan yang baik tentang cara panen. Olam juga akan memastikan seluruh petani yang bekerja memenuhi standar usia dan tidak akan membiarkan ada pekerja yang masih di bawah umur.
Keempat, membangun supply chain (rantai pasok) kakao yang memberikan dampak berupa nilai tambah pada pendapatan keluarga petani kakao dan berkelanjutan, serta 100% traceable. Olam akan memastikan asal-usul dari seluruh biji kakao yang akan mereka gunakan. Apakah biji kakao tersebut berasal dari perkebunan atau didapatkan dengan cara-cara yang dapat merusak lingkungan.
"Hal itulah yang termasuk ke dalam pemberdayaan petani. Jadi kami bukan hanya membeli, kami juga memastikan petani kecil mampu melakukan budi daya dengan praktik yang benar. Kami pastikan 70 ribu petani yang bekerja sama dengan kami di seluruh Indonesia didata dan masuk pada sistem OFIS (Olam farmers information system)," ujar Imam.
Baca Juga: Wow, Starbucks dikabarkan setuju beli bahan baku dari Papua Barat?
Setelah terdaftar di dalam sistem, para petani ini kemudian digolongkan menjadi empat golongan, yaitu petani pasif, punya basic knowledge, advance, dan profesional. Metode penggolongan ini, kata Imam, dilakukan untuk mempermudah dalam mengarahkan level pembelajaran para.
"Ini yang disebut pendidikan oleh Pak Luhut. Pendidikan, training, dan pendekatan individu di lapangan. Kalau kami pukul rata, nanti itu tidak akan mengena, dia hanya masuk kiri keluar kanan. Kami punya tim 200 orang di lapangan dari Medan sampai dengan seluruh Sulawesi," kata Imam.
Meski menawarkan berbagai keuntungan bagi para petani, tetapi investasi hijau ini masih memiliki banyak tantangan dalam pelaksanaannya.
Adapun berbagai masalah tersebut seperti perubahan iklim, hama dan penyakit pada kakao, modal bagi para petani, kredit usaha rakyat (KUR) yang terhenti akibat perbankan masih meminta agunan, kurangnya kejelasan dalam kepemilikan lahan, serta kurangnya infrastruktur untuk pelaksanaan pembayaran digital, transparansi, system traceability, dan biaya angkutan yang terjangkau bagi para pelaku usaha.
Hal ini masih menjadi tantangan besar yang harus dipikirkan sebelum Olam memutuskan untuk berinvestasi di Papua dan Papua Barat.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri investasi hijau di tanah Papua dan Papua Barat dapat memiliki potensi yang menggiurkan bagi para pengusaha cokelat. Terlebih, Vijay mengakui kualitas kakao dari Papua sangatlah bagus. Namun, memang jumlah produksinya masih jauh dari kata cukup.
Senada dengan Vijay, Commissioner PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa) Piter Jasman juga menekankan bahwa petani Indonesia harus meningkatkan produksi kakao di dalam negeri untuk meminimalkan impor. Hal ini dapat menjadi peluang yang bagus, apalagi permintaan di kawasan Asia Pasifik selalu mengalami peningkatan.
"Di petani itu rata-rata produksi 400kg per-hektare (ha) per tahun, kalau dengan teknologi yang benar, produksi itu bisa mencapai 2 ton per-ha per tahun. Jadi kami lebih fokus dengan ditingkatkan dulu produksinya, supaya income untuk petani meningkat," kata Piter.
Peningkatan produksi ini dilakukan agar Indonesia dapat mengurangi impor kakao dari luar negeri. Seperti diketahui, setiap tahun Indonesia masih mengimpor sekitar 250 ribu ton biji cokelat dari luar negeri. Kata Piter, bila dihitung, nominalnya kurang lebih mencapai US$600 dolar untuk impor bahan baku demi keperluan dalam negeri.
Apabila produksi petani dalam negeri dapat ditingkatkan, maka peluang untuk meningkatkan ekspor ke wilayah Asia Pasifik dapat terbuka lebar. Inilah yang dilihat oleh para pengusaha sebagai kesempatan bagus dalam investasi hijau.
Baca Juga: Pemerintah libatkan tiga perusahaan asing jadi konsultan pembangunan ibu kota baru
"Jika Papua ada 30% lahan yang bisa dikembangkan produk pertaniannya, maka kami setuju jangan lagi sawit. Kita harus kembangkan kakao yang jelas sudah ada permintaan, itu kita harus dukung. Nah ini perlu didorong, karena ini menghasilkan devisa bagi negara," tutup Piter.
Tak hanya itu, peningkatan produksi dalam negeri juga secara tidak langsung dapat membantu kehidupan dari 95% petani perorangan. Di mana mereka akan terbantu dari segi lapangan pekerjaan. Berbagai keunggulan inilah yang dimiliki Indonesia dan perlu didorong oleh berbagai pihak untuk hasil yang lebih baik di masa mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News