Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri hulu migas dunia saat ini sedang mengalami masa suram. Pandemi Covid-19 telah membuat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) melemah. Harga minyak pun ikut terperosok. Imbasnya, investasi hulu migas dunia turun hingga US$ 125 miliar.
Di saat yang sama, terjadi perubahan paradigma dalam bisnis. Beberapa perusahaan migas mulai tertarik mengembangkan industri energi alternatif dan mencanangkan diri sebagai energy company.
Daya tarik industri hulu migas Indonesia pun saat ini masih tertinggal dibanding negara lainnya kendati sejumlah upaya perbaikan sudah dilakukan. Tanpa insentif dan kebijakan yang tepat, produksi minyak nasional akan terus menurun.
Baca Juga: Pertamina kembali dirikan Pertashop di kawasan Jawa Barat
Salah satu upaya penting untuk kembali menggairahkan industri hulu migas demi pencapaian target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 adalah dengan meningkatkan fiscal attractiveness Indonesia.
Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie Andrew Harwood, mengatakan, perlu upaya lebih agar Indonesia dapat lebih kompetitif. Andrew menilai Pemerintah Indonesia memang telah memberikan sejumlah terobosan seperti fleksibilitas skema kontrak.
“Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja. Pasalnya, negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi,” kata Andrew dalam FGD Ekonomi dan Keuangan 2020 bertema Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms yang diadakan secara daring di Jakarta baru-baru ini.
Menurut Andrew, nilai fiscal attractiveness Indonesia berada jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil. Hanya saja, Irak dan Brasil lebih menarik bagi investor dibanding Indonesia. Akumulasi prospek migas disebut Andrew sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketertarikan investor, selain fiscal term yang berlaku.
“Pada 2010, Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus,” kata Andrew.
Pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.
Melihat kondisi tersebut, Andrew menilai, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek lain, seperti split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.
“Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia,” kata Andrew.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus memperhatikan regulasi lain, terutama terkait persoalan perizinan yang selama ini dianggap menjadi hambatan karena berbelit-belit. Ke depan, pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.
Ambisi pemerintah untuk mewujudkan target produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 BSCFD pada tahun 2030 dinilai Andrew sebagai kondisi yang tergolong menarik.
Ia berpendapat, program tersebut kemungkinan akan menarik kehadiran banyak investor di Indonesia meski dengan nilai investasi yang masih tergolong kecil.
Perusahaan migas kecil ini memiliki keterbatasan dana untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan melaksanakan Enhanced Oil Recovery (EOR), sehingga membutuhkan dukungan fiskal dari pemerintah.
Dengan adanya dukungan fiskal, Indonesia akan menciptakan iklim investasi yang lebih menarik di industri hulu migas dan lebih atraktif dibanding negara lain.
“Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan benefit yang akan mereka terima,” kata Andrew.
Baca Juga: Pemerintah diminta tingkatkan permintaan gas seiring target produksi 12 bscfd
Dalam FGD yang sama, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan, mengungkapkan pemerintah perlu memberikan sinyal positif kepada para investor terutama dalam hal menjaga kesucian kontrak (contract sanctity).
Upaya yang dapat dilakukan berupa merevisi peraturan menteri ESDM yang kontradiktif dengan kontrak-kontrak PSC. Selain itu, perlu ada reformasi regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan competitiveness, seperti yang terjadi di North Sea, Australia, dan Mesir.
“Untuk Indonesia, prospektivitas, kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business), dan fiscal attractiveness merupakan poin-poin kritikal yang diambil investor ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya,” ujar Ronald.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News