Reporter: Francisca Bertha Vistika, RR Putri Werdiningsih, Sinar Putri S.Utami | Editor: Markus Sumartomjon
JAKARTA. Gejolak krisis politik yang terjadi di Thailand saat ini semestinya bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia menarik investor di sana masuk dalam negeri. Maklum, untuk memulihkan krisis akibat kudeta militer di negeri gajah putih ini butuh waktu tidak sedikit.
Nah, seperti apa peluang Indonesia memancing investor global terutama di bidang otomotif dan elektronik, berikut uraian singkatnya.
Otomotif
Menurut Bob Azam, Executive General Manager External Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), untuk jangka pendek belum bakal ada pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan industri otomotif nasional. Meski secara ekonomi domestik, Thailand sedang lemah, justru produksi otomotif tetap berjalan. "Justru itu mereka mendongkrak ekspor. Kita harus hati-hati dengan hal ini," katanya ke KONTAN, Senin (26/5).
Kalaupun nantinya logistik pengadaan ekspor mobil Toyota dari Thailand terganggu, biasanya TMMIN bakal mengambil alih peran dari Toyota Thailand sampai kondisi ekonomi dan politik di negara tersebut pulih. Begitu pula sebaliknya, bila kondisi politik Indonesia terganggu, maka produksi ekspor TMMIN bakal diambil Toyota Thailand.
Nah, menurut Bob, krisis politik yang terjadi di Thailand kalau dihitung sudah berlangsung selama lima tahun. Bila krisis ini belum juga terselesaikan, bisa jadi terjadi pengalihan investasi otomotif ke Indonesia.
Namun Jongkie D Sugiharto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengaku hingga kini pihaknya masih belum mengetahui ada tidaknya pabrik mobil atau komponen otomotif yang mengalihkan investasi ke Indonesia. "Tapi kita siap menerima pengalihan investasi tersebut," kata Jongkie.
Elektronik
Sama seperti industri otomotif, kalangan industri elektronik juga mengaku belum merasakan dampak positif dari imbas kisruh di Thailand. "Belum terlalu berpengaruh kalau untuk jangka pendek seperti ini," kata Ketua Electronic Marketeers Club (EMC), Rudyanto.
Peningkatan investasi di bidang elektronik akan terlihat, jika keadaan krisis tersebut terus berlangsung dalam jangka panjang.
Ali Soebroto, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) justru sangat berharap ada limpahan investasi elektronik. Malah, ia menduga sudah ada rencana investor elektronik hengkang dari Thailand. "Mengingat keadaan Thailand yang tengah chaos, banyak investor mencari pengganti Thailand," katanya kepada KONTAN.
Pasalnya, untuk memulihkan kondisi politik di Thailand, dibutuhkan waktu paling tidak lima tahun. Nah, kondisi inilah yang membuat Ali yakin investor elektronik global bakal datang ke Indonesia.
Terlebih, Indonesia dan Thailand mempunyai kondisi pasar dan geografis yang sama. Selain itu, pasar elektronik Indonesia juga besar.
Bila pindah, tentu yang terjadi adalah investasi besar-besaran. "Karena jika para investor elektronik pindah maka mereka juga harus pindah pabrik," tuturnya.
Sekedar informasi, saat ini, industri elektronik yang tergolong kuat di Thailand adalah industri pendingin ruangan atau air conditioner (AC). Nah, Samsung Electronic memiliki pabrik AC di Thailand.
Ia pun melihat ada peluang Samsung untuk memindahkan pabrik pendingin ruangan ke Indonesia.
Sejauh ini, pabrik elektronik global yang berinvestasi di Indonesia condong memproduksi produk rumah tangga elektronik. Seperti kulkas, mesin cuci. Dan yang belakangan diproduksi adalah produk televisi layar datar.
Pariwisata
Hal sebaliknya justru tejadi di bisnis pariwisata. Menurut Elly Hutabarat, Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo) diprediksi terjadi penurunan jumlah wisatawan ke Thailand sekitar 20%-30% dari biasanya. "Tidak bisa dipungkiri pasti ada kekhawatiran dari wisatawan bagaimana kalau bandara ditutup dan ada jam malam. Wisatawan kan ingin jalan-jalan,” papar Elly.
Sementara itu, Lucas Suryanata, Head of Communications Traveloka.com mengaku menerima beberapa telepon dari calon penumpang yang mempertanyakan perihal pengembalian uang pemesanan dan penjadwalan ulang keberangkatan.
Sedangkan Garuda Indonesia mulai 1 Juni sampai 24 Juli bakal mengurangi frekuensi penerbangan dari Jakarta - Bangkok, dari tiga kali sehari menjadi dua penerbangan sehari. Menutur Manajer Senior Komunikasi Eksternal Garuda, Ikhsan Rosan langkah ini diambil karena tingkat okupansi rute itu anjlok jadi 60% dari rata-rata 70%-75%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News