Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) sempat gencar digaungkan. Program konversi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke BBG di sektor transportasi disebut-sebut ingin diseriusi.
Sebagai bukti, lahir Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 125 Tahun 2015 tentang perubahan atas Perpres Nomor 64 Tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga BBG untuk Transportasi Jalan. Namun, sudah sejauh mana program ini berjalan.
Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito mengakui, ada kendala dalam program ini. Utamanya, karena kurangnya dukungan dari sisi regulasi untuk mengikat masyarakat agar beralih ke BBG. Di samping itu, harga jual Compressed Natural Gas (CNG) Rp 3.100/LSP di Jabodetabek, dinilai belum ekonomis.
Saat ini, ada 57 unit Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG) yang dikelola Pertamina retail dan mitra. “Pasar BBG memang cukup besar. Namun karena masyarakat belum wajib beralih ke BBG, pasar tersebut jadi masih terbatas.
Jadi mesti ada pembahasan yang lebih komprehensif. Termasuk antara regulator dan produsen kendaraan,” terang Adiatma kepada Kontan.co.id, pada Kamis (2/8).
Lain hal nya dengan Perusahaan Gas Negara (PGN). Menurut Direktur Komersil PGN, Danny Praditya, BBG dalam transportasi ini berpotensi akan semakin membaik. Namun, Danny lebih senang menyebut program ini bukan sebagai konversi, namun diversifikasi.
“Kalau konversi itu kan berarti seluruh Indonesia harus punya program yang sama. Tetapi ini kita selected area, dimana ada gas dan infrastrukturnya, itu kita kembangkan buat transportasi,” ujar Danny.
Danny menyebut, kolaborasi antara pemerintah dan komunitas menjadi kunci sukses atau tidaknya penerapan BBG. “Kita punya contoh adanya intervensi Pemerintah, seperti di Batam, pertumbuhannya menarik. Juga concern untuk develop komunitas. Seperti di Jakarta, kita punya komunitas Bajaj Gas. Daerah lain seperti Sukabumi dan Serang juga ada komunitas,” imbuhnya.
Saat ini, PGN mengelola 13 SPBG, 4 MRU, dan 1 PRS. Baik Pertamina maupun PGN, tidak memasang target penambahan fasilitas pengisian BBG. “Targetnya kita ingin mengoptimalkan SPBG yang ada dulu supaya secara operasional kita bisa proof ke bahwa program ini terus berjalan. Jadi tahun ini belum, next year mungkin,” terang Danny.
Sementara, menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto, mengenai penggunaan gas, pihaknya lebih menargetkan pembangunan jaringan gas dan konversi dari minyak tanah ke LPG. “Progres bagus, jalan terus. Kendala tidak ada, hanya anggaran terbatas,” klaim Djoko.
Selain itu, pihaknya pun menargetkan ada 25.000 unit konverter kit BBM ke LPG untuk nelayan kecil di 55 kabupaten/kota yang akan digarap pada tahun 2018 ini.
Hal ini merujuk pada Perpres Nomor 126 tahun 2015 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG untuk kapal perikanan bagi nelayan kecil.
Terkait dengan konversi dari minyak tanah ke LPG, Adiatma Sardjito mengklaim bahwa program ini hampir selesai, kecuali di daerah Indonesia bagian timur. Oleh sebab itu di daerah Indonesia bagian timur masih ada subsidi untuk minyak tanah.
“Kalau untuk jaringan gas ke rumah tangga atau city gas, itu baru bisa dialiri di daerah-dearah penghasil gas. Jumlah jaringan gas ada 130.083 SR,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News