Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PLTU Paiton sejak dulu memang menjadi ajang investasi bagi para investor kelistrikan. Mereka kerap menjual saham di sana dengan harga lebih tinggi dari pembelian. Terutama bagi investor lokal.
Ada tiga investor asing di sana, yakni Mitsui Corp Jepang yang merupakan pemegang saham terbesar dengan 45,5%, Nebras Power Qatar memiliki 35,5%, kemudian Jera Co, yakni Joint Venture antara Tokyo Electric Power Group dan Chubu Electric Power Group yang memiliki 14%.
Baca Juga: Mitsui Jepang hengkang dengan jual 45,5% saham Paiton, bisnis PLTU tak menarik?
Sedangkan sisanya 5% saham PLTU Paiton dimiliki oleh perusahaan Indonesia yakni PT Toba Bara.
Asal tahu saja, sebelum Toba Bara membeli 5% saham di PLTU Paiton, pemilik sebelumnya adalah PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG). Melalui anak usahanya PT Batu Hitam Perkasa saham PT Paiton Energy dijual ke Toba Bara pada taun 2018.
Tak hanya milik investor lokal, kepemilikan saham investor asing di PT Paiton Energy yang mengelola PLTU Paiton berkapasitas 2.045 MW itu juga kerap berganti. Sebelumnya pemegang saham Paiton adalah Engie SA, perusahaan asal Prancis yang memiliki 40,5%.
Tetapi, pada 2016 lalu, sebanyak 35,5% dibeli oleh Perusahaan asal Qatar Nebras Power melalui anak usahanya Nebras Power Netherland BV. Namun demikian, masa pandemi yang membuat penurunan penjualan listrik membuat investor ogah berinvestasi di sektor pembangkit listrik.
Belum lagi soal masalah batubara yang dianggap masih menjadi masalah lingkungan dan buntutnya lembaga pembiayaan tak mau mengucurkan dananya bagi energi berbasis batubara.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang mengungkapkan, Kemungkinan besar masih akan banyak lagi investor asing yang keluar dari bisnis pembangkit. "Tergantung outlook dan portofolio masingi-masing investor yang berbeda-beda," kata dia ke KONTAN.co.id, Selasa (30/6).
Baca Juga: Rampung pekan depan, begini cara BSSN investigasi lonjakan tagihan listrik PLN
Dia mengatakan, ketergantungan sistem di Indonesia masih mengandalkan PLTU batubara sebagai backbone sehingga masih atraktif sebagai investasi 5-10 tahun ke depan. Namun memang investor menghindari Pulau Jawa untuk berinvestasi. "Untuk PLTU baru (di Jawa) tidak ada karena dalam keadaan oversupply saat ini untuk sistem Jawa," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News