Reporter: Herlina KD |
JAKARTA. Kebijakan moratorium alias penundaan sementara izin pembukaan lahan hutan akan berdampak negatif bagi industri yang berbasis agro. Industri kelapa sawit adalah salah satu yang bakal terkena imbasnya. Pasalnya, dengan diberlakukannya moratorium, maka pertumbuhan produksi kelapa sawit nasional akan terhambat.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) joko Supriyono mengatakan pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia sekitar 1,5 juta ton - 2 juta ton per tahun. Artinya, dalam empat tahun saja potensi kehilangan produksi itu mencapai 8 juta ton," ungkap Joko pekan lalu.
Ia menambahkan, keputusan pemerintah untuk melakukan moratorium akan menyulitkan ekspansi lahan untuk industri berbasis perkebunan termasuk kelapa sawit. Padahal, di sisi lain kelapa sawit adalah salah satu penyumbang devisa negara yang terbesar. Jika moratorium tetap dilakukan, "Dampaknya adalah kemandekan atau berhenti ekspansi, dan risikonya adalah perlambatan ekonomi," jelas Joko.
Saat ini, produksi minyak kelapa sawit (CPO) nasional sekitar 21,5 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 25%-nya digunakan untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya sebanyak 75% dilempar ke pasar ekspor. Joko bilang, tingkat konsumsi CPO di Indonesia memang belum setinggi di Eropa. Saat ini konsumsi CPO masyarakat Indonesia sebanyak 23 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan konsumsi CPO masyarakat Eropa yang mencapai 40 kg per kapita per tahun.
Sementara, kebutuhan CPO dunia sebesar 5 juta ton per tahun. Permintaan ini akan terus tumbuh setiap tahunnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan ini, Indonesia setidaknya butuh ekspansi lahan kelapa sawit sekitar 3 juta hektar per tahun. "Adanya moratorium akan menghambat ekspansi ini. Padahal Indonesia punya kesempatan untuk menaikkan produksinya," kata Joko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News