kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,12   2,37   0.26%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mudarat TPP lebih besar ketimbang manfaat


Kamis, 02 Juni 2016 / 12:47 WIB
Mudarat TPP lebih besar ketimbang manfaat


Reporter: Issa Almawadi | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Indonesia memang belum memastikan diri untuk bergabung dengan blok dagang Trans Pacific Partnership (TPP). Namun, gaung perdagangan bebas antar negara di di pasifik tersebut banyak mengundang pro dan kontra bagi pelaku bisnis.

Saat ini masih banyak pembahasan mengenai untung dan rugi jika ikut TPP ini. Setidaknya, ada dua masalah penting dalam perdebatan TPP, yaitu investasi dan daya saing. Indonesia saat ini getol menarik investasi. Namun industri Indonesia sulit bersaing di pasar bebas TPP.

I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian menilai, untuk bergabung dengan TPP, kebutuhannya tak hanya kesiapan pelaku industri saja, tetapi juga kesiapan pemerintahnya. 

"Kami (pemerintah) mesti mempersiapkan aturan," ujar Putu dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "TPP, Peluang atau Ancaman?" di Jakarta, Rabu (1/6). 

Putu menambahkan, TPP bisa jadi peluang, karena membuka akses pasar yang baru. Tapi TPP bisa jadi ancaman jika tanpa persiapan. 

Salah satu produk yang berpeluang masuk pasar TPP adalah otomotif. Yanuarto W.H, Sekjen Institut Otomotif Indonesia (IOI) menilai, Indonesia bisa meningkatkan ekspor otomotif jika bergabung TPP. Sebaliknya, Indonesia bakal jadi pasar otomotif dari anggota TPP yang lain. 

Hanya saja, "Teknologi otomotif Indonesia kalah dari negara anggota TPP lainnya," imbuh Yanuarto. Dia mencontohkan, negara Korea Selatan dan Jepang telah menerapkan standar emisi Euro 6, adapun Indonesia baru Euro 2. 

Walhasil, mobil produksi Indonesia sulit masuk ke negara tersebut. Sebaliknya mobil dari lain leluasa masuk ke Indonesia. "Tapi ada peluang ekspor ke Australia, Selandia Baru, Peru, Chili, Argentina, dan Meksiko," kata Yanuarto.

Tak semua kelompok memandang TPP sebagai peluang. Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) salah satu orang yang pesimistis jika Indonesia bergabung TPP. 

Enny menilai, Indonesia hanya jadi pemasok bahan baku murah di TPP. "Indonesia tidak punya produk andalan di TPP," kata Enny. 

Untuk itu, Enny menyarankan ada usaha industrialisasi untuk menghasilkan produk industri. Khusus untuk sektor otomotif, Enny menilai, perlu ada fasilitas dan insentif agar Indonesia menjadi basis produksi bukan cuma pasar. 

Sementara,  Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia  Febrio Kacaribu menilai, jika Indonesia tak bergabung dengan TPP, risikonya akan kehilangan peluang investasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×