kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mutu rendah, harga kakao lokal tak terpengaruh kenaikan harga kakao dunia


Selasa, 10 Mei 2011 / 17:15 WIB
Mutu rendah, harga kakao lokal tak terpengaruh kenaikan harga kakao dunia
ILUSTRASI. Distribusi DOC: Peternak memberi makan Day Old Chick (DOC) di kandangnya di kawasan Bogor, Jawa Barat, Senin (14/10). Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) meminta Pemerintah tegas mengatur distribusi DOC, 50% untuk perusahaan integrasi dan afilia


Reporter: Herlina KD | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Akibat hujan yang berkepanjangan, kualitas alias mutu kakao juga ikut memburuk. Alhasil, petani tak bisa menikmati membaiknya harga kakao internasional.

Harga kakao di pasar internasional saat ini mencapai US$ 3.000 per ton. Ketua Asosiasi Petani kakao Indonesia (APKAI) A.Sulaiman Husain mengungkapkan, dengan harga kakao internasional sebesar itu, harusnya harga kakao di tingkat petani bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram (kg). “Tapi karena kualitas kakao buruk, kakao di tingkat petani hanya sekitar Rp 19.000 per kg," ujarnya kepada KONTAN Selasa (10/5).

Ia menjelaskan, curah hujan yang tinggi menyebabkan tanaman kakao rawan terserang hama penggerek buah kakao (PBK). "Kalau tanaman kakao terserang hama PBK, akibatnya buah kakao mengeras dan tidak bisa difermentasi," jelas Sulaiman.

Alhasil, dari hasil panen, hanya sekitar 50% biji kakao yang bisa difermentasi. Sebab, syarat biji kakao yang bisa difermentasi adalah biji kakao yang sempurna.

Padahal, harga kakao yang difermentasi bisa lebih tinggi ketimbang biji kakao biasa. "Selisih harganya bisa sekitar Rp 3.000 per kg," ungkap Sulaiman. Hanya saja, selama ini petani masih belum banyak yang tertarik untuk melakukan fermentasi karena selisih harga kakao fermentasi dengan biji kakao yang tidak difermentasi sangat tipis.

Padahal, menurutnya untuk bisa menghasilkan biji kakao fermentasi butuh waktu lebih lama. Jika selisih harga bisa lebih besar, Sulaiman bilang petani mungkin akan lebih tertarik.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menambahkan, biji kakao fermentasi akan terjadi penyusutan volume sekitar 5%. Sehingga, "Kadang-kadang hasil yang didapat petani lebih tinggi jika dijual tanpa difermentasi," jelasnya.

Zulhefi menambahkan, akibat curah hujan yang tinggi juga membuat kadar air dalam biji kakao juga meningkat. Padahal, idealnya kadar air dalam biji kakao yang bisa diterima oleh pasar internasional sekitar 8%. Sementara itu, "Karena curah hujan tinggi, kadar air biji kakao yang dihasilkan petani rata-rata sekitar 9%. Karena itu, petani klaim atas kelebihan kadar air ini," katanya.

Sekadar mengingatkan, akibat curah hujan yang masih cukup tinggi, tahun ini produksi kakao nasional diramalkan tidak akan mencapai angka 600.000 ton. Bahkan, Zulhefi mengatakan, rata-rata produksi kakao nasional per tahun sekitar 550.000 ton. "Tahun ini produksi kakao bisa turun sekitar 30% dari produksi biasanya," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×