Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko pailit membayangi pengembang properti seiring maraknya gugatan/permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) maupun gugatan pailit pada pengembang. Kondisi yang demikian dinilai merugikan pihak pembeli properti.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida mengatakan, penetapan status pailit pada pengembang properti membuat pembeli yang belum memiliki dokumen Akta Jual Beli kehilangan hak atas unit properti yang beli. Makanya, ia menilai bahwa sidang kepailitan pada sektor properti sebaiknya ditiadakan untuk sementara pada masa pandemi Covid-19.
“Saya sudah mengajukan surat 2 kali, baik melalui DPD RI maupun ke Mahkamah Agung, kalau bisa sidang kepailitan selama pandemi ini ditunda dululah supaya ga carut marut. Kalau sebuah perusahaan dipailitkan, sedangkan dia punya end user (konsumen/pembeli) ribuan, kan kasihan juga (pembelinya),” ujar Totok saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (11/3).
Baca Juga: Simak tips dari Savills Indonesia agar aman saat membeli properti
Seperti diketahui, permohonan PKPU marak dilayangkan kepada para pengembang properti di masa pandemi Covid-19. Latar belakangnya bisa bermacam-macam. Pada kasus tertentu, permohonan PKPU bisa datang dari kreditur pihak ketiga seperti pelaksanaan pekerjaan konstruksi properti untuk mendapatkan kepastian pembayaran atas pekerjaan yang dilakukan, namun bisa juga datang dari kelompok pembeli properti itu sendiri demi mendapatkan kepastian atas pengerjaan proyek properti yang molor.
Menurut Totok, kondisi yang demikian dapat dipahami, sebab pengerjaan proyek properti bisa menghadapi kendala teknis seperti importasi barang-barang atau material bangunan yang terhambat akibat pandemi, dan lain-lain.
Di sisi lain, pengembang properti umumnya juga dihadapkan pada realisasi penjualan yang melesu. Hal ini berdampak pada kondisi arus kas perusahaan pengembang dan turut memengaruhi pelaksanaan kewajiban-kewajiban pengembang, termasuk dalam hal menyelesaikan pengerjaan proyek.
“Cash flow-nya otomatis goyang sehingga mengalami penundaan. Membangun sebuah tower hunian (misalnya), break even dia itu minimal di 55%. Jadi kalau ga laku di 60% pasti tersendat,” terang Totok.