kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pajak Karbon Lintas Negara Dilaksanakan 2026, Industri Harus Segera Kurangi Emisi


Senin, 20 November 2023 / 18:26 WIB
Pajak Karbon Lintas Negara Dilaksanakan 2026, Industri Harus Segera Kurangi Emisi
ILUSTRASI. Mekanisme pajak karbon antar negara (cross border) akan efektif dilaksanakan 2026 mendatang. REUTERS/Wolfgang Rattay/File Photo


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengatakan, mekanisme pajak karbon antar negara (cross border) akan efektif dilaksanakan 2026 mendatang. 

“Melalui mekanisme ini, produk-produk dari dalam negeri bisa dikenakan pajak karbon dan kita juga bisa mengenakan pajak karbon ke negara lain,” ujarnya ditemui usai Rapat Kerja (Raker) di Gedung DPR RI, Senin (20/11). 

Penerapan cross broder mechanisme akan berdampak pada daya saing produk dalam negeri jika industri terbebani pajak karbon yang tinggi. Sederhananya, jika beban pajak yang ditanggung pengusaha semakin besar, harga jual produknya menjadi lebih mahal. 

Arifin mengingatkan agar industri segera mengantisipasi pajak karbon lintas negara. Indonesia harus mengurangi emisi karbon sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya, meningkatkan pemanfaatan pembangkit energi baru terbarukan sebagai sumber energi bersih. 

Baca Juga: Skema Power Wheeling Bisa Berikan Tambahan Pendapatan ke PLN

Saat ini, lanjut Arifin, negara lain sudah memperlihatkan kecepatannya melakukan transisi energi. Tentu Indonesia tidak boleh kalah. Oleh karenanya, Kementerian ESDM mengusulkan sejumlah poin untuk mengakselarasi pengembangan EBT di dalam negeri. 

Sejumlah usulan itu ialah fleksibilitas kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan skema penggunaan jaringan transmisi dan distribusi bersama (power wheeling). 

Meski aturan TKDN sudah berjalan, seringkali kebijakan ini menghambat proyek-proyek EBT yang didanai dari luar negeri. 

Arifin menjelaskan, pengaturan TKDN juga perlu mengukur kapasitas dan kemampuan sendiri (dalam negeri). Dia mengingatkan, jangan sampai aturan ini menghambat dan membuat biaya pengembangan EBT menjadi tinggi. 

“Untuk itu kita perlu juga melihat roadmap masing-masing industri itu, kesiapannya untuk TKDN kapan saja,” jelasnya. 

Pihaknya mengusulkan penambahan satu poin substansi aturan TKDN di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) di mana pengutamaan produk dari dalam negeri mempertimbangkan sejumlah hal. 

Baca Juga: Soal TKDN di RUU EBET, Kementerian ESDM dan Kemenperin Belum Senada

“Pertimbangan itu meliputi ketersediaan atau kemampuan dalam negeri, harga energi baru/energi terbarukan yang tetap kompetitif, dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan EBET,” ujarnya. 

Kemudian mengenai power wheeling, Arifin memaparkan, pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan  distribusi ini dilakukan melalui sewa jaringan. Dalam pelaksanaannya, pemerintah melakukan pengawasan supaya mekanisme ini bisa berjalan tanpa memberikan dampak pada pemerintah. 

Melalui mekanisme ini, pemerintah yakin, akses energi bersih bagi pelanggan industri bisa lebih terbuka. 

“Tanpa adanya akses ini, kemungkinan sulit bisa mendapatkan percepatan bauran EBT  dalam sistem. Jadi  tidak semuanya bisa disediakan satu pihak. Perlu kerja sama dengan seluruh pihak yang perlu berinvestasi,” tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×