Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah masih menggodok kebijakan pajak karbon. Pengamat mengingatkan, penentuan pajak karbon yang lebih rendah bisa membuat pengusaha tidak terlalu melirik bursa karbon.
Saat ini, pemerintah memang belum menerbitkan aturan pajak karbon bagi seluruh industri karena masih menggodok peta jalan (roadmap) yang pas. Supaya kebijakan tersebut tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi baik itu inflasi maupun penciptaan lapangan kerja.
Namun, di tahun lalu pemerintah telah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit batubara senilai Rp 30 per kilogram Co2 Equivalent (Co2e) atau setara Rp 30.000 per ton Co2e. Ketentuan tersebut sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mulai berlaku 1 April 2022.
Pajak karbon senilai Rp 30.000 per ton Co2e ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan harga per-unit karbon di IDXCarbon di mana per Jumat (6/10) senilai Rp 69.900 per unit (ton Co2e).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, kalau ada perbedaan antara nilai pajak karbon dan harga karbon di bursa, tanpa adanya kejelasan peraturan, maka bisa saja entitas memilih opsi yang lebih murah.
“Oleh karena itu perlu ada kejelasan bagaimana pajak karbon akan diterapkan, apakah pajak diberlakukan pada produk misalnya bahan bakar minyak (BBM) atau produk lain yang mengandung karbon. Atau pada entitas bisnis. Kemudian sektor apa saja yang terkena kewajiban menurunkan emisi,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (8/10).
Baca Juga: Setelah 4 Hari Perdagangan Sepi, Bursa Karbon Kembali Riuh
Adapun hingga saat ini, perdagangan bursa karbon masih sepi. Berdasarkan Laporan Perdagangan Harian di laman resmi IDXCarbon, pada Jumat (6/10) tidak tercatat adanya transaksi dari 17 pengguna jasa yang ada.
Dalam pelaksanaan bursa karbon, lanjut Fabby, tidak ada perusahaan yang berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca. Sebelumnya, pemerintah baru mengumumkan sektor yang wajib menurunkan GRK dengan batasan emisi atas yang jelas ialah sektor ketenagalistrikan yang mencakup 99 unit PLTU.
Jadi pembelian kredit karbon yang dilakukan 17 pengguna jasa pada perdagangan bursa karbon bersifat sukarela.
Misalnya saja Bank Mandiri membeli 3.000 ton karbon bersifat volunteer karena ingin melakukan offset emisi gas rumah kacanya. Begitu juga motif pembelian kredit karbon oleh Pertamina Patra Niaga senilai Rp 922 juta atau setara 19.989 ton karbon.
“Begitu beli kan bisa berlaku untuk setahun, sebab orang menghasilkan emisi gas rumah kaca dihitung setiap tahunnya. Jadi tidak heran kalau bursanya menjadi sepi karena tidak ada lagi yang membeli,” kata dia.
Secara umum, Fabby menilai, bursa karbon memang tidak se-liquid bursa saham karena tujuan pembelian kredit karbon bukan untuk mendapatkan keuntungan setiap harinya, tetapi lebih kepada usaha menurunkan emisi.
Baca Juga: Bursa Karbon Punya Potensi Bisnis Besar, Pertamina Siapkan Strategi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News