Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Penghentian kegiatan (moratorium) budidaya di lahan gambut berpotensi mengganggu kepastian usaha. Termasuk bisa mempengaruhi minat penanaman modal asing ke Indonesia.
Pakar hukum Lingkungan Universitas Parahyangan Daud Silalahi menilai, perlu proses panjang mulai dari kajian ilmiah yang menyeluruh, dari semua sisi baik lingkungan maupun bisnis sebelum menstop kegiatan budidaya di lahan gambut.
Kajian ilmiah tersebut juga harus dilakukan para pakar bereputasi internasional, serta keputusannya berlaku dan mempunyai model yang berlaku umum di dunia.
"Itu berarti, pemerintah tidak bisa langsung menetapkan bahwa keputusan untuk menghentikan kegiatan budidaya di lahan gambut sudah tepat dan bisa langsung dieksekusi jika belum melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh,” kata Daud, Selasa (28/6).
Menurut Daud, perusahaan-perusahaan yang dirugikan juga bisa mengajukan keberatan terhadap pemerintah jika ternyata kajian-kajian itu tidak dilakukan oleh para pakar bereputasi internasional di bidangnya.
Perlindungan mengatasnamakan lingkungan tidak boleh sepihak. Ada mekanisme yang harus dijalani, karena keputusannya punya kemungkinan-kemungkinan dimensi antarnegara.
”Kita tidak bisa melihat dunia ini lagi secara sempit, tetapi harus memakai kacamata global.”
Dalam kasus moratorium gambut, kata Daud, perusahaan sebenarnya bisa berargumentasi. Apalagi, kondisi yang ada tidak seperti yang dikhawatirkan.
Teknologi sebenarnya bisa mengatasi untuk membantu penyelesaiannya masalah itu. Hanya saja, pemerintah harus mempunyai rencana yang lebih baik.
“Perusahaan perlu dilindungi karena mendapatkan hak-hak untuk berusaha di Indonesiadengan prosedur yang benar,” kata Daud.
Lebih jauh Daud mengungkapkan, konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya terfokus kepada lingkungan saja, namun harus mendukung pro pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.
Menurut Daud, ada banyak variable yang harus diperhatikan. Kalau hanya bicara lingkungan saja akan jomplang.
Risiko lingkungan pasti ada dalam pengelolaan apa saja, tetapi keseimbangan antara kebutuhan manusia harus diprioritaskan.
“Terpenting ada toleransi minimal dalam mencapai keseimbangan itu. Jangan kita terus takut. Saya juga sangat concern dengan lingkungan. Tapi harus disadari kita tidak bisa hanya mengandalkan lingkungan, tetapi mengabaikan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi.”
Terpisah, Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Ricky Avenzora mengingatkan, moratorium tersebut merupakan wacana yang keliru.
“Moratorium justru merugikan Indonesia karena serapan tenaga kerja serta kontribusi besar bagi perolehan devisa akan berkurang," ujar Ricky.
Ricky mengatakan pihak yang paling diuntungkan apabila moratorium di kawasan budidaya diberlakukan adalah negara-negara barat serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik yang berasal dari dalam dan luar negeri.
“Sudah saatnya, regulasi memberikan tempat kepada sektor swasta untuk ikut memberikan tanggung jawab terkait masalah lingkungan. Jangan menyerahkan persoalan lingkungan kepada kepentingan LSM asing," ujarnya. (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News