Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
SURABAYA. Dosa manajemen masa lalu dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) menjadi biang kerok dari kesulitan keuangan yang dialami oleh PT PAL Indonesia. Pendapatan yang tidak pernah lebih besar dari Rp 1,1 triliun dalam 10 tahun terakhir dan tingginya ongkos overhead termasuk gaji karyawan menyebabkan perusahaan perkapalan tersebut sangat susah mengembangkan diri. Bahkan besar kemungkinan, PAL Indonesia akan memecat 1.000 karyawannya dalam waktu dekat.
Tak heran jika banyak kontrak pembuatan kapal yang menjadi molor dari jadwal yang telah ditetapkan. Walaupun begitu, sepertinya seluruh karyawan dan level direksi, masih optimis PAL masih bisa diselamatkan. Bahkan Direktur Utama PT PAL Harsusanto yakin, jika krisis ini masih bisa dilalui maka dalam tiga tahun mendatang, dirinya mampu membuat penjualan menjadi melesat di kisaran Rp 4-5 triliun per tahun.
Ia mengatakan, keyakinan itu bisa dilakukan dengan mengubah konsep perusahaan dengan memfokuskan diri untuk membuat kapal-kapal kecil yang cepat laku dan banyak dibutuhkan oleh perusahaan Indonesia. Termasuk mengoptimalkan divisi perbaikan, pemeliharaan dan konstruksi termasuk proyek geothermal untuk mendapatkan laba dalam waktu cepat. Selama ini, PT PAL banyak membuat kapal-kapal bertonase besar dan teknologi tinggi, namun kapal-kapal itu sangat jarang bahkan tidak pernah mendapat konsumen dari dalam negeri.
“Buat apa membawa teknologi tinggi dan kapal berukuran raksasa jika tidak pernah dipakai oleh negara kita sendiri namun malah negara lain. Lebih baik kita benar-benar komersial murni,” kata Harsusanto. Perkataan Harsusanto ada benarnya juga, saat KONTAN mengunjungi beberapa proyek di galangan kapal PT PAL, tampak bermacam-macam kapal raksasa seperti Star 50 dengan bobot 50.000 dwt. Selain itu kapal dengan teknologi tinggi dipesan oleh Italia untuk mengangkut cairan kimia.
Di bidang SDM, selain melakukan rasionalisasi pegawai, PT PAL juga akan mulai melakukan regenerasi karyawan. Harsusanto mengakui, bahwa semenjak 1999 lalu, perusahaannya tidak pernah melakukan regenerasi karyawan di level pelaksana. Sehingga saat ini banyak karyawan yang sudah memasuki usia tidak produktif namun masih dipertahankan. “Walaupun sekecil apapun harus ada regenerasi dan investasi,” katanya.
Walaupun kondisi perusahaan berdarah-darah, namun Harsusanto masih tidak terlalu khawatir dengan pendanaan proyek-proyek pembangunan kapal yang sudah dikontrak. Ia yakin masih mempunyai cukup dana untuk membiayai proyek itu, terlebih lagi pihaknya telah berhasil merenegosiasi 10 kontrak pembuatan kapal termasuk pembayaran dari 18 buah kapal yang harus diselesaikan PT PAL. Hanya saja, saat ini perusahaan plat merah tersebut sangat terkendala dengan bagaimana cara membayar gaji pegawai yang tiap tahun membutuhkan dana sekitar US$ 1,7 juta per tahun untuk membayar 2.376 karyawan organic dan 700-an sub kontraktor.
Sebenarnya, PT PAL Indonesia masih mempunyai asset piutang yang bisa ditarik. Namun, sampai saat ini piutang itu masih mangkrak karena belum ada kesepakatan pembayaran dari si pengutang. Harsusanto menyebutkan, piutang PT PAL tersebar di PT Pelni dengan nilai total utang pokok sebesar Rp 153 milliar sehingga total utang plus bunga sudah mencapai Rp 443 milliar. Selain itu ada juga di PT Jakarta Loid sebesar Rp 33 milliar dan on top dari Departemen Pertahanan sebesar US$ 8 juta. “PT Pelni dan kita kan sama-sama BUMN seharusnya bisa saling tolong menolong. Kalau nggak bisa dibayar tunai yang bisa mencicil Rp 5 miliar per bulan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News